Mulai naik, begini tanggapan industri mainan soal tarif jasa Pelabuhan Tanjung Priok



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) menilai kenaikan tarif jasa peti emas di Pelabuhan Tanjung Priok tidak tepat dan memberatkan para pengusaha, Mengingat kondisi ekonomi Indonesia masih lemah akibat dampak dari pandemi Covid-19. Namun di sisi lain, AMI juga melihat kebijakan tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia saat ini.

Sedikit kilas balik, PT Pelindo II (Persero) atau IPC menaikkan tarif pelayanannya mulai Kamis (15/4). Penyesuaian tarif ini akan berlaku di lima terminal peti kemas internasional di Pelabuhan Tanjung Priok, yaitu di JICT, IPC TPK, TPK Koja, Mustika Alam Lestari (MAL) dan NPCT1.

Perubahan tarif Lo-Lo untuk peti kemas ukuran 20 kaki sebelumnya Rp 187.500/boks menjadi Rp 285.500/boks. Sedangkan untuk tarif ukuran 40 kaki menjadi Rp 428.250/boks yang tadinya Rp 281.300/boks. Di sisi lain, untuk penumpukan petikemas ukuran 20 kaki yang sebelumnya Rp 27.200/bok/hari menjadi Rp 42.500/bok/hari, sedangkan untuk ukuran 40 kaki menjadi Rp 85.000/bok/hari yang asalnya Rp 54.400/bok/hari.


Baca Juga: Beban berat, pengusaha minta kenaikan tarif layanan pelabuhan Tanjung Priok ditunda

Ketua Umum AMI Sutjiadi Lukas mengatakan, perubahan tarif pelayanan yang terjadi turut mempengaruhi harga jual produk mainan yang diperkirakan dapat meningkat sekitar 30%. Hal itu lantaran sebagian besar komponen mainan masih didapatkan dengan cara mengimpor dari luar negeri, seperti China, Jepang, dan Korea.

"Karena industri mainan kan harus impor komponen spare part itu kebanyakan masih dari luar juga. Jadi tentu akan ada dampak dengan kenaikan harga barang, sejalan dengan kenaikan dari biaya pengurusan biaya masuk perizinan," sebut Sutjiadi kepada Kontan.co.id, Kamis (15/4).

Sebagai langkah awal, antisipasi dari naiknya tarif pelayanan yang terjadi, para industri mainan lokal akan berupaya untuk terus mengurangi porsi pembelian produk dari luar negeri. Terutama, untuk jenis mainan yang sudah dapat diproduksi sepenuhnya di Indonesia.

"Produk lokal itu kebanyakan yang injections-nya dari plastik. Indonesia baru sampai sebatas itu buatnya, untuk barang yang high class belum bisa," kata Sutjiadi.

Berdasarkan data AMI, perbandingan antara produk impor dan lokal itu berada di kisaran 70:30. Di mana, porsi barang impor masih lebih tinggi ketimbang produk yang sudah bisa diproduksi sendiri di Indonesia. Namun demikian, angka tersebut masih dapat selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan.

"Terkadang juga bisa terjadi 60:40 tergantung situasinya," tambah Sutjiadi.

Dikatakan Sutjiadi, kinerja bisnis industri mainan lokal di kuartal I tahun iniĀ  sedikit meningkat. Hal tersebut lantaran pengurangan impor yang tengah digencarkan, dapat mengurangi beban biaya impor yang dikeluarkan oleh perusahaan.

"Karena ada beberapa jenis barang mainan yang bisa diproduksi di Indonesia sehingga importir tidak membeliĀ  lagi dari luar," sebutnya.

Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, industri mainan lokal tidak berharap banyak memperoleh laba atau keuntungan. Menurut Sutjiadi, yang terpenting adalah tetap berusaha untuk mempertahankan lini bisnis yang telah ada, sembari membantu pemerintah dalam hal mengurangi angka pengangguran.

AMI berharap Pelabuhan Patimban yang saat ini hanya diperuntukan untuk transaksi ekspor dan impor mobil, kelak dapat secepatnya didorong menjadi pelabuhan alternatif dari Pelabuhan Tanjung Priok sehingga bisa mengurangi biaya pelayanan yang ada.

Selanjutnya: KIKT menyebut kenaikan tarif jasa pelabuhan di Tanjung Priok kurang bijak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat