Musim hujan menghambat produksi



Kabupaten Tangerang sudah cukup lama menjadi penghasil kerajinan topi bambu. Bahkan,  kini  sudah menjadi daerah penghasil topi bambu terbesar di Indonesia. Para perajin mengatakan, permintaan topi bambu, khususnya topi pramuka tidak pernah sepi. Rupanya, seiring bertambahnya penduduk, kebutuhan topi pramuka pun meningkat.

Salah satu perajin topi bambu, Atmaja (60), mengatakan, durasi pengerjaan topi bambu cukup lama. Para perajin pun sangat bergantung pada cuaca karena topi bambu harus dijemur. Makanya, ketika musim hujan, produksi topi bambu sering terhambat. Pasalnya, jika dikeringkan dengan cara lain, seperti alat pemanas ruangan, bahan baku bambu bisa terbakar.

Meski begitu, harga topi bambu sangat jarang naik. Saat ini, topi bambu, khususnya topi pramuka dibanderol  harga Rp 110.000 per kodi. “Ada pelanggan yang sudah order untuk satu tahun, jadi harga jual sudah disepakati sejak lama, saya tidak bisa sembarang menaikkan harga,” ujar dia.


Atmaja membeli bahan baku bambu seharga Rp 10.000 per batang di Tangerang. Untuk membuat topi pramuka, ia menggunakan bambu tali. Tiap batang bambu tali bisa dipakai untuk memproduksi 10 – 20 topi pramuka. Namun, untuk membuat topi pantai atau topi koboi, ia menggunakan bambu ilaban. Tiap batang bambu ilaban hanya bisa digunakan untuk membuat dua topi.

Perajin lainnya, Agus Hasanudin menjelaskan cara pengerjaan topi bambu. Kata Agus, pembuatan topi bambu bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ada dua kelompok yang terlibat dalam pengerjaan topi bambu, yakni penganyam dan perajin. Proses pembuatan topi bambu berasal dari para penganyam yang mayoritas merupakan ibu rumah tangga.

Satu batang bambu dibelah hingga jadi 14 helai- 15 helai bambu untuk dianyam. Anyaman ini akan jadi bahan baku topi bambu setengah jadi yang dikumpulkan oleh pengepul. “Orang mengira  prosesnya mudah. Padahal susah sekali menganyam helai bambu yang tipis itu, beda dengan menganyam  plastik,” ujar Agus.

Uniknya, sistem barter masih berlaku bagi para penganyam. Alih-alih membayar dengan uang tunai, para pengepul kadang membayar penganyam dengan barang kebutuhan sehari-hari, seperti minyak, beras, cabai. “Pasalnya, para pengepul belum tentu bisa langsung menjual anyaman, jadi digunakanlah sistem barter,” ucap Agus.

Selanjutnya, anyaman dijual pada para produsen atau perajin. Lantas, proses finishing pun dilakukan di bengkel para perajin. Di bengkel produksi, topi diwarnai sesuai pesanan, lalu dijahit pinggirannya. Kemudian topi dijemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Setelah itu, perajin menjahit aksesori seperti pita atau manik-manik sebagai hiasan. Dalam seminggu, perajin bisa mengerjakan sekitar 100 kodi topi bambu.        n(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini