KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Musim mencukur suku bunga belum berakhir. Nampaknya para pengambil kebijakan di sejumlah bank sentral berbagai negara masih memandang upaya memperlonggar kebijakan fiskal adalah jurus yang harus diambil demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Maklum saja, ramalan pertumbuhan ekonomi dunia masih muram. Alih-alih membaik, sejumlah lembaga justru kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Baik untuk tahun ini maupun untuk tahun 2020. Alhasil, di bulan Oktober sejumlah bank sentral di beberapa negara kembali menurunkan suku bunganya. Dimulai dari Reserve Bank of Australia (RBA) yang memangkas suku bunga sebesar 0,25 basis poin di awal bulan ini. Tak tanggung-tanggung, kini suku bunga di Australia mencapai titik terendah sepanjang sejarah yakni di level 0,75%.
Baca Juga: Dampak penurunan suku bunga acuan BI tak bisa langsung dirasakan Langkah bank sentral Negeri Kanguru ini adalah yang ketiga kalinya di 2019. Merangsang ekonomi yang lesu tentunya menjadi alasan. Pasalnya meski melewati 28 tahun tanpa resesi, tetapi risiko perlambatan ekonomi Australia semakin meningkat selama setahun terakhir. Gubernur RBA Philip Lowe mengakui keputusannya untuk menurunkan suku bunga adalah sebagian untuk merespon penurunan pasar tenaga kerja. "Dewan mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut hari ini untuk mendukung lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan dan untuk memberikan kepercayaan yang lebih besar bahwa inflasi akan konsisten dengan target jangka menengah," kata Lowe dikutip
Reuters. Beberapa hari berselang, India mengambil langkah serupa. Reserve Bank of India (RBI) kembali memangkas suku bunga acuannya untuk yang kelima kali secara berturut-turut. Bunga acuan di India dipangkas 25 basis poin (bps) menjadi 5,15%. Langkah ini dilakukan sebagai usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonominya yang berada di tingkat terendah dalam enam tahun ke belakang. Di pertengahan bulan, Bank of Korea (BOK) ikut menyusul dengan memotong suku bunga untuk kedua kalinya dalam kurun waktu tiga bulan. BOK memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menjadi 1,25%.
Baca Juga: Ekonom menilai penurunan suku bunga BI hanya untuk menjaga stabilitas ekonomi Turki adalah contoh berikutnya. The Central Bank of the Republic of Turkey (CBRT) menggunting suku bunga sebesar 250 basis poin ke level 14% pada minggu ini. Dalam beberapa bulan ke belakang, Negeri Ottoman ini memang agresif memangkas suku bunga acuan dari 24% pada bulan Juni usai diserang krisis mata uang lira pada tahun lalu. Jangan dilewatkan, Bank Indonesia juga lagi-lagi memangkas suku bunga di bulan Oktober. Ini adalah penurunan keempat kalinya secara berurutan. Artinya sejak Juli 2019, Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga setebal 1%. Gubernur BI Perry Warjiyo beralasan, kebijakan bank sentral untuk menurunkan suku bunga sejalan dengan prakiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil investasi keuangan domestik yang masih menarik. Selain itu, BI juga melanjutkan kebijakan
pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah perekonomian global yang melambat. Namun lagi-lagi potensi pelemahan ekonomi global, terutama dari ketegangan Washington dengan Beijing masih jadi pusat perhatian BI. “Ke depan, berbagai ketidakpastian dari ketegangan hubungan dagang AS dan Tiongkok, serta risiko geopolitik lain tetap dicermati karena dapat mempengaruhi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan menjaga arus masuk modal asing sebagai penopang stabilitas eksternal,” kata Perry, Kamis (24/10). Bila membaca proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diajukan sejumlah ekonom, memang bank sentral di sejumlah negara nampaknya tak boleh tinggal diam. Untuk kesekian kalinya, sejumlah lembaga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun ini maupun tahun depan. International Monetary Fund (IMF) misalnya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2019 ini menjadi 3% dari sebelumnya 3,2%. Tahun 2020, IMF memproyeksi ekonomi global tumbuh lebih baik yaitu 3,4%. Namun tetap saja, proyeksi tersebut turun 0,1% dari sebelumnya pada Juli lalu.
Baca Juga: Bank of Japan (BOJ) peringatkan perbankan akan risiko biaya kredit Lantas, apakah langkah sejumlah bank sentral termasuk BI untuk memangkas suku bunga bisa efektif menyelamatkan ekonomi? Pasalnya, meski BI getol memangkas suku bunga sejak Juli lalu, namun penyaluran kredit perbankan justru masih melambat hingga menyentuh 8,59% secara year-on-year per Agustus 2019. Padahal pada Juli 2019 masih bisa menyentuh 9,58%. Perry beralasan, perlambatan kredit perbankan ini dipengaruhi oleh masih lambatnya transmisi kebijakan penurunan suku bunga acuan terhadap suku bunga kredit. “Suku bunga deposito baru turun sebesar 26 bps sepanjang Juli-September 2019. Suku bunga kredit turun lebih kecil lagi, yaitu hanya 8 bps. Ruang penurunan masih banyak dengan sekarang BI sudah turunkan 100 bps,” tutur Perry. Perry juga menilai lambatnya penyaluran kredit juga dipengaruhi faktor permintaan yang belum kuat. Sepanjang tahun ini, dunia usaha cenderung menahan ekspansi dan investasi lantaran tingginya ketidakpastian dari eksternal maupun di dalam negeri. Meski begitu, di kuartal IV-2019 ia optimistis geliat ekonomi akan jauh lebih baik sehingga penyaluran maupun permintaan kredit bisa meningkat. “Survei dunia usaha menunjukkan kegiatan investasi oleh sejumlah korporasi akan meningkat karena sudah mempunyai rencana investasi dan pembiayaan yang belum direalisasikan,” kata dia. Di sisi lain, ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai penurunan suku bunga acuan oleh BI memang masih dibutuhkan dalam rangka memastikan geliat konsumsi domestik terjaga. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun hanya bertumpu pada konsumsi dan belum dapat mengandalkan investasi apalagi ekspor. “Kalau tidak ada respons lagi dari kebijakan moneter, (pertumbuhan) malah bisa lebih buruk karena sampai saat ini kebijakan fiskal belum benar-benar ekspansif di tengah penerimaan pajak yang lebih berat tahu ini,” tutur Josua. Namun ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, penurunan suku bunga acuan ini bukan sebagai langkah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, melainkan hanya sebagai langkah stabilitas. "Saya kira BI sudah mulai berubah. Bukan mendorong, tapi menjaga agar tidak terjadi perlambatan ekonomi. Jadi stabilitas dari sisi makronya," kata Lana. Untuk ke depannya, Lana melihat masih ada ruang bagi BI menurunkan kembali suku bunga acuan, bahkan hingga 4,75% hingga akhir tahun. Hal ini disebut sebagai langkah pre-emptive dari keputusan Bank Sentral AS (The Fed) yang masih memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuan. Selain itu, juga sebagai langkah antisipasi penurunan ekonomi akibat kondisi ekonomi global.
Baca Juga: China tak pangkas suku bunga seperti negara lain, salah satu alasannya karena babi Bahkan ekonom BCA David Sumual menilai efek pelonggaran moneter ini tidak bisa langsung dirasakan, apalagi dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. "Moneter itu perlu waktu yang lama. 6 bulan-12 bulan, baru kelihatan dampaknya. Dan itu pun perlu dikombinasikan dengan kebijakan makroprudensial," kata David. Namun, menurut David pelonggaran moneter ini bisa menjadi langkah
pre-emptive dari BI, apalagi dengan melihat bank sentral Amerika Serikat memiliki kecenderungan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan akibat perang dagang dan China yang masih memanas.
David melihat bahwa memang kebijakan moneter ini sebagai langkah penuntun. Keputusan akhirnya ada di tangan pihak-pihak terkait. "Jadi ibaratkan pelonggaran moneter sebagai upaya menggiring domba ke tepian danau. Namun, domba ingin meminum atau tidak, keputusan ada di tangan sang domba," tambah David. Oleh karena itu, untuk menggenjot pertumbuhan kredit, memang perlu dikombinasi bauran kebijakan bukan hanya dari sisi moneter saja, tetapi dari sisi fiskal juga dan kebijakan pemerintah. Apalagi dengan adanya kabinet baru dan paket kebijakan baru. Langkah bank sentral memangkas suku bunga memang harus diikuti berbagai kebijakan lanjutan dari para pemangku kepentingan agar bisa membopong geliat ekonomi yang tengah lesu. Kita tunggu saja. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi