JAKARTA. Presiden Direktur PT Indosat Tbk Alexander Rusli turut berkomentar soal pro kontra pengembalian frekuensi dalam kasus merger dan akuisisi PT XL Axiata Tbk (XL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis). Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI Rabu sore (29/1), Alex menegaskan bahwa sudah seharusnya frekuensi satu paket dengan akuisisi. Hadir pada kesempatan itu para petinggi operator. Bila telah ada izin menteri, tidak menjadi masalah aset-aset yang dimiliki perusahaan yang diakuisisi dan merger, menjadi milik perusahaan pengakuisisi, termasuk frekuensi yang terkait. “Jika frekuensi tidak diikutsertakan niscaya tidak ada operator yang mau melakukan aksi korporasi tersebut,” kata Alex. Dia menambahkan, konsolidasi merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas layanan.
Sementara itu Presiden Direktur PT XL Axiata Tbk Hasnul Suhaimi mengatakan mustahil melakukan akuisisi tanpa mengikutsertakan frekuensi. Sebab, selain harus membayar utang Axis sebesar Rp 17 Triliun, XL juga harus melayani pelanggan Axis yang saat ini mencapai 17 juta. Dia menambahkan akuisisi menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan alokasi spektrum. “Akan sulit untuk melayani pelanggan Axis tanpa tambahan frekuensi,” ujar Hasnul, dalam kesempatan yang sama. Menurut Hasnul, aksi konsolidasi semacam ini bukan pertama kali terjadi. Dia mencontohkan operator CDMA Smart juga bergabung dengan Fren. Bergitu pula Indosat yang melakukan aksi konsolidasi dengan IM3 dan Satelindo. Hasnul menuturkan, saat itu tidak dipermasalahkan soal frekuensi, bahkan diberikan semua ke perusahaan. Axis saat ini menggunakan spektrum 25 MHz dengan pembagian 15 MHz untuk 2G dan 10 MHz sisanya untuk 3G. Jika konsolidasi ini terjadi, XL akan mendapat 15 MHz di spektrum 1.800, sedangkan 10 MHz sisanya akan dikembalikan ke negara. Frekuensi di 1.800 MHz, yang saat ini digunakan untuk layanan 2G, menjadi incaran beberapa operator. Selain XL, Telkomsel dan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) juga menginginkan frekuensi ini. Telkomsel beralasan, saat ini pelanggannya sudah mencapai 131,5 juta per akhir 2013, sehingga membutuhkan tambahan frekuensi. Sementara Tri juga membutuhkan karena saat ini hanya memiliki 10 MHz di 1.800 dan 10 MHz di 2.100. Jika LTE digelar di 1.800, maka Tri akan kesulitan melayani pelanggan. Hasnul melanjutkan, seharusnya jumlah pelanggan tidak hanya dijadikan patokan untuk menambah frekuensi. Sebab, meskipun jumlah pelanggan XL lebih sedikit, trafik pelanggan XL 15% lebih banyak dari Telkomsel. Berdasarkan laporan masing-masing perusahaan hingga akhir 2012, layanan 2G XL dengan spektrum 15 MHz, trafik pelanggan mencapai 106 miliar menit, atau sekitar 7,1 miliar menit per MHz.
Jumlah ini lebih tinggi 15% dari trafik Telkomsel yang memiliki 30 MHz dengan trafik 185 miliar menit, atau rata-rata hanya 6,1 miliar menit per MHz. Dari sisi pelanggan, Telkomsel dan XL sudah sama-sama berada di atas ambang batas ketentuan perlunya tambahan frekuensi dari International Telecommunication Union (ITU). Sesuai ketentuan ITU, penambahan alokasi spektrum frekuensi dimungkinkan bila jumlah pelanggan minimal 3 juta pelanggan per MHz. Saat ini, di spektrum 2G, XL dengan 15 MHz memiliki total 46 juta pelanggan, atau rasio 3,1 juta pelanggan per MHz. Jumlah ini tidak terlalu terpaut jauh dengan Telkomsel yang memiliki 30 MHz dengan 125 juta pelanggan, atau rasio 3,9 juta pelanggan per MHz. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan