Di awal 2018, tidak ada salahnya kita melongok ke belakang sejenak. Pertumbuhan ekonomi kita masih mengandalkan permintaan domestik sebagai motor utama. Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,9% tahun ini. Di sisi internasional, kinerja perdagangan relatif positif, dengan ekspor tumbuh 9,8% dan impor tumbuh 6,7%. Neraca perdagangan di bulan September 2017 sempat mencatatkan sejarah surplus tertinggi sejak 2012. Catatan makro lainnya, laju inflasi sesuai target pemerintah, yaitu 3,0% plus minus 1,0% dengan komponen volatile foods sebagai penyumbang utama rendahnya inflasi.
Berbekal hasil itu, pemerintah menyusun asumsi dalam APBN 2018. Pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 3,5%, nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap rupiah Rp 13.400, harga minyak 48 US$ per barel, lifting minyak 800.000 barel/hari, tingkat bunga SPN 3 bulan 5,2% dan lifitng gas 1.200 barel/hari. Ada yang menilai asumsi itu moderat, mengingat 2018 merupakan tahun politik. Postur APBN 2018 pun disusun dengan hati-hati dan berorientasi ke pertumbuhan. Pendapatan negara dinaikkan menjadi Rp 1.894,7 triliun dari Rp 1.736,1 triliun di 2017. Belanja negara juga naik menjadi Rp 2.220,7 triliun dari Rp 2.133,3 triliun di tahun lalu. Pemerintah menyatakan prinsip utama yang menjadi dasar penetapan asumsi APBN tahun ini adalah anggaran yang sehat dan berkelanjutan, penguatan fungsi pokok kebijakan fiskal,
sustainable dan
welfare. APBN yang sehat dapat menjadi fondasi utama untuk menciptakan kesejahteraan. APBN yang sehat juga akan mendorong kebijakan fiskal bekerja secara optimal menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan. Pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan akan mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Sayangnya, beberapa kendala pembangunan masih menghadang upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan tersebut. Wajib membangun Kendala paling nyata adalah bahaya disparitas dan kesenjangan horizontal yang masih tinggi. Konsentrasi pembangunan masih berada di sebagian besar Pulau Jawa dan wilayah Barat Indonesia. Jawa dan Sumatera memang tercatat memberikan sumbangan tertinggi untuk Produk Domestik Bruto nasional, masing-masing 58,5% PDB dan 22,0% PDB. Bandingkan dengan kontribusi Sulawesi yang hanya 6,0% PDB atau Kalimantan sebesar 7,9% PDB. Papua bahkan hanya berkontribusi sebesar 2,5% ke PDB. Tingginya kontribusi Jawa dan Sumatra, ironisnya, juga diimbangi dengan besarnya angka kemiskinan plus pengangguran. Jelas kondisi ini wajib segera diselesaikan jika pemerintah betul-betul berambisi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kesenjangan lain di depan mata adalah munculnya disparitas dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan publik dasar. Penyediaan akses air bersih, misalnya. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mampu mencapai 100%, melampaui kota-kota besar di Pulau Jawa. Sementara di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat baru 10%. Bahkan di Kabupaten Mamberamo, Papua, baru 4%. Pemenuhan akses terhadap sanitasi menjadi contoh lain yang menarik. Di Pangkal Pinang, Bangka Belitung mencapai 97%, namun di Kabupaten Asmat, Papua hanya 14%. Kesenjangan klasik terkait disparitas antar kelompok masyarakat dan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar daerah juga belum selesai sepenuhnya. Di era otonomi daerah, isu ini menjadi relatif sensitif jika tidak diatasi dengan kebijakan yang memadai, karena terkait dengan besaran alokasi Transfer ke Daerah. Bagaimana Nusa Tenggara Timur yang memiliki PDRB/kapita hanya Rp 14.920 harus berkompetisi dengan DKI Jakarta yang memiliki PDRB per kapita sekitar Rp 194.800. Karena itu, tak salah jika pemerintah getol membangun infrastruktur di seluruh pelosok Indonesia, terutama di daerah-daerah terbelakang dan terpencil. Tujuannya jelas: mengupayakan berkurangnya ketimpangan antar daerah serta mewujudkan aspek keadilan pembangunan untuk semua masyarakat tanpa terkecuali. Secara sistematis, era pembangunan infrastruktur dimulai sejak 1 Januari 2015, seiring dengan keberhasilan pemerintah memutus beban alokasi subsidi BBM yang sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya. Mengukur dampak Di APBN tahun ini, pemerintah kembali menegaskan komitmen membangun infrastruktur, dengan mengalokasikan dana Rp 410,4 triliun. Dana itu disebar melalui anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 104,7 triliun, Kementerian Perhubungan Rp 44,2 triliun, Dana Alokasi Khusus Rp 33,9 triliun, dan Investasi Pemerintah Rp 41,5 triliun. Total angka itu naik hampir 5,8% dibanding alokasi untuk infrastruktur di APBN-P 2017. Beberapa kebijakan utama pembangunan infrastruktur seperti pengembangan konektivitas untuk mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, jalur utama logistik, dan integrasi antarmoda dalam rangka mendorong pengembangan wilayah strategis. Lalu, koordinasi lintas sektoral agar pelaksanaan pembangunan infrastruktur berjalan lancar sesuai dengan target nasional dan kebutuhan daerah. Ironisnya, beberapa pihak mempertanyakan semangat pemerintah membangun infrastruktur, dengan alasan tidak ada dampaknya bagi pertumbuhan. Dalam kacamata penulis, dampak pembangunan infrastruktur memang membutuhkan periode waktu yang relatif panjang. Paling cepat, baru di tahun ketiga terlihat dampak pertumbuhannya.
Mengingat pergantian kepemimpinan nasional di bulan Oktober 2014 dengan mewarisi APBN 2015 sebagai transisi, praktis pembangunan infrastruktur baru jalan di 2016. Agak naif jika kita mempertanyakan belum munculnya dampak pertumbuhan. Pemerintah sendiri telah berkomitmen bulat bahwa pembangunan infrastruktur adalah sebuah keniscayaan. Tentu, itu harus dibarengi dengan perbaikan kebijakan sekaligus peningkatan alokasi belanja di sektor-sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan umum, penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Dengan mewujudkan seluruh agenda itu, harapannya Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, sesuai visi Indonesia Bangkit 2030. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga