Mutu industri pengolahan kakao bermula dari hulu



JAKARTA. Industri hilir kakao domestik memang lagi mempesona. Selain mampu mendatangkan investasi baru, industri hilir kakao juga menghidupkan kembali perusahaan yang sempat mati suri. Tapi produktivitas dan mutu kakao kita perlu dibenahi.

Sejak bea keluar (BK) kakao berlaku pada 2010 lalu, investasi sektor hilir kakao terus mengalir. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mencatat, investor yang bakal masuk antara lain Archer Daniels Midland Cocoa (ADM Cocoa) berasal dari Singapura dan JB Cocoa berasal dari Malaysia.

Selain investasi baru, ada pula perusahaan pengolah kakao yang sempat mati suri akibat kekurangan bahan baku, kini beroperasi lagi. Perusahaan itu antara lain PT Effem Indonesia (Makassar) yang berkapasitas 17.000 ton per tahun, PT Jaya Makmur Hasta (Tangerang), kapasitas 15.000 ton per tahun, PT Unicom Kakao Makmur Sulawesi (Makassar) berkapasitas 10.000 ton per tahun. Kemudian ada PT Davomas Abadi (Tangerang) yang berkapasitas 140.000 ton per tahun dan PT Maju Bersama Cocoa Industries (Makassar) yang berkapasitas 20.000 ton per tahun.


Dengan berkembangnya lagi industri hilir kakao, jelas butuh pasokan yang memadai dari hulu. Karena itu, para pemangku kepentingan harus memprioritaskan upaya peningkatan produktivitas kakao.

Sayangnya, Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) dari Kementerian Pertanian masih dianggap belum optimal.  "Kami melihat program Gernas Kakao belum dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani rakyat," ungkap Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo).

Zulhefi mengkritik, Gernas Kakao yang menggunakan bibit jenis somatic embryogenesis (SE) merupakan kekeliruan. Ini lantaran bibit itu belum pernah diuji coba.

Rendahnya harga biji kakao dibandingkan harga sawit dan karet juga menjadi masalah tersendiri bagi peningkatan produksi. Zulhefi menghitung, setiap 1 ha kebun kakao hanya sanggup menghasilkan Rp 8,5 juta per tahun. Namun, kebun sawit atau karet dengan luas lahan sama mampu menghasilkan Rp 13,5 juta.

Bahkan harga rata-rata biji kakao tahun ini hanya Rp 17.000 per kg, turun 29% dibandingkan dengan harga tahun lalu. Tahun depan, harga kakao diprediksi naik tipis, jadi Rp 19.000 hingga Rp 20.000 per kg.

Jangan heran bila lahan kakao kian menyusut akibat minimnya pendapatan pekebun kakao. Tahun lalu kebun kakao di Indonesia seluas 1,5 juta ha. Tahun ini menyusut menjadi 1,4 juta ha. "Alih fungsi terjadi di perkebunan swasta," ungkap Ketua AIKI, Piter Jasman.

Dia menghitung, luas kebun kakao milik swasta hanya 10% dari total kebun. Mayoritas hasil kakao berasal dari kebun rakyat. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro