Kesuksesan bisa saja bermula dari keisengan dan coba-coba. Tengok saja pengalaman Nadia Mutia Rahma, pemilik Kloom Clogs. Mengandalkan desain yang modern, kelom produksinya langsung diminati pasar, khususnya pembeli di luar negeri. Kalau cuma berwujud alas kaki kayu sederhana yang bertalikan karet, kelom mungkin hampir hilang dari peredaran. Sebagai gantinya, orang lebih suka memakai sandal jepit atau alas kaki modern lainnya. Tapi, di tangan Nadia Mutia Rahma, sandal kayu yang di beberapa wilayah di Indonesia juga disebut teklek itu bisa berubah menjadi produk alas kaki harus unik, nyaman, dan disukai konsumen. Bahkan kelom bermerek Kloom Clogs hasil kreasi Nadia sukses menembus pasar luar negeri.
Nadia mengubah tampilan kelom yang lazimnya berdesain batik dan ukiran dengan teknik pengecatan air brush. Dus, kelom tradisional dimodifikasi menjadi sepatu dengan desain yang lebih modern. Ia memadukan kayu dan kulit gaya Eropa. Hasilnya adalah aneka desain kelom yang unik, trendi, modern, fashionable, dan elegan. Saat ini, kelom kreasi Nadia diminati oleh konsumen di Finlandia, Swedia, Islandia, Norwegia, dan Denmark. “Ada juga yang dikirim ke Australia dan Amerika Serikat (AS),” kata dara kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1989 ini. Omzetnya dari bisnis ini bisa mencapai ratusan juta setiap bulan. Nadia menargetkan, tahun ini, ia bisa memproduksi 12.000 pasang kelom atau dua kali lipat produksi tahun lalu yang sekitar 6.000 pasang. Ia membanderol kelomnya mulai Rp 175.000 hingga Rp 450.000 per pasang. “Fokus kami tidak hanya di pasar ekspor, tapi juga akan lebih giat menggarap pasar dalam negeri yang belum banyak tergarap,” ujar Nadia yang belum lama ini membuka galeri di kawasan Bumi Serpong Damai. Jika kita tengok ke belakang, mungkin, tak ada yang mengira kelom produksi anak pertama dari dua bersaudara ini bakal ngetop. Pasalnya, kelom Nadia hanya buah dari iseng. Sejak kelas dua SMA atau sekitar 2006, Nadia tinggal di Tokyo, Jepang, mengikuti sang ayah yang bertugas di sana. Selulus SMA, ia masuk ke sekolah pendidikan bahasa Jepang. Tahun 2009, dia masuk sekolah
fashion di Esmod Tokyo. Di tempat ini, ia menemukan banyak teman dari berbagai negara, terutama dari Skandinavia. “Di Indonesia, anak muda suka banget sepatu-sepatu merek asing. Tapi, teman saya dari Skandinavia justru mengoleksi kelom,” ujarnya. Nadia baru tahu bahwa kelom memang menjadi salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Skandinavia. Dia lantas membeli sepasang kelom. “Akhir 2010, saya ke Indonesia untuk liburan karena jenuh di Jepang. Ternyata, liburannya keterusan,” katanya. Alhasil, Nadia meninggalkan bangku sekolah di Esmod Tokyo. “Saya hanya sekolah selama enam bulan di sana,” katanya. Pulang ke Yogyakarta, ia mencari tukang sepatu yang bisa membuatkan kelom seperti miliknya. Dia menemukan perajin di kawasan Monumen Jogja Kembali (Monjali). Awalnya Nadia hanya membuat tujuh pasang kelom. Dengan membanderol Rp 250.000 per pasang, barang itu langsung ludes dibeli tetangganya. Otak bisnisnya yang diwariskan dari sang ayah mulai berputar. Dia ingin memproduksi dalam jumlah besar. “Kebetulan, saya suka gambar, saya coba desain sendiri. Semua autodidak, sebab di Esmod saya tidak belajar desain sepatu,” kata gadis ayu ini. Sulit mencari mitra Nadia memutuskan ikut pendidikan di Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta untuk mempelajari ilmu mengenai aneka produk kulit. Maklum, kulit menjadi bahan baku sepatunya, selain kayu pinus, mahoni, dan sampang. “Cuma bertahan tiga bulan. Baik di Esmod maupun ATK tak sampai lulus,” katanya. Namun, dari dua sekolah itu, Nadia bisa mendapatkan jaringan bisnis. Dari teman-temannya di Esmod, ia mendapat jaringan pembeli di luar negeri dan dari teman di ATK, ia mendapat jaringan perajin dan pemasok bahan baku. Dengan modal awal tabungan Rp 30 juta, Nadia mulai memproduksi dalam jumlah besar. “Semua saya jual secara online via Facebook dan blog,” katanya. Saat itu, ia baru memiliki lima perajin. Sang ibu membantu di bagian pemasaran sedangkan Nadia lebih fokus di bagian produksi.
Kemudian, Nadia mencoba membuka gerai di Kemang, Jakarta Selatan. Dari situ, ada yang mengajaknya berpameran di JCC, Pondok Indah Mall, Gandaria City, dan Plaza Indonesia. Untuk memperbesar kapasitas produksi, Nadia menjual mobil untuk tambah modal. Tapi, ia kesulitan menambah tenaga kerja. Asal tahu saja, 70% pengerjaan produk kelomnya menggunakan mesin dan sisanya mengandalkan keterampilan manusia. “Nah, mencari tenaga untuk membuat ini sangat sulit. Benar-benar harus mendapatkan orang yang terampil,” kata Nadia yang sekarang memiliki puluhan karyawan. Pemasaran via internet jadi kunci sukses Nadia. Ia juga aktif ikut pameran. Tahun lalu, ia pameran di London. Tahun ini, ia bakal ikut pameran di Hong Kong dan Paris untuk meningkatkan ekspor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi