JAKARTA. Utang luar negeri swasta bulan April kembali mendaki. Data terbaru Bank Indonesia (BI) menunjukkan, utang luar negeri swasta pada bulan April 2015 mencapai US$ 166,98 miliar, atau 55,68% dari total utang luar negeri Indonesia. Posisi utang luar negeri swasta di April ini tumbuh 13,4% dibandingkan utang luar negeri swasta pada April 2014 sebesar US$ 147,28 miliar. Adapun, bila dibanding dengan bulan sebelumnya yakni Maret, utang luar negeri swasta naik tipis yakni 1,01%. BI melihat, pertumbuhan utang luar negeri swasta di awal triwulan II 2015 dipicu melonjaknya pinjaman dan surat utang korporasi. Sebagian besar utang luar negeri swasta ini dari sektor keuangan, pengolahan, pertambangan, listrik, gas dan air bersih.
Jika ditotal, pangsa utang luar negeri keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,8%. "Pertumbuhan tahunan ULN sektor keuangan dan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan. Tapi, pertumbuhan sektor listrik, gas dan air bersih melambat," papar Peter Jacobs, Direktur Departemen Komunikasi BI, Rabu (17/6). Secara total, ULN Indonesia pada April 2015 tercatat US$ 299,84 miliar. Dari jumlah itu, utang pemerintah mencapai US$ 127,96 miliar atau tumbuh 4,43% dibandingkan posisi April tahun lalu. Pada triwulan I lalu, ULN swasta memakan porsi sebesar US$ 165,3 miliar atau setara dengan 55,5% dari total ULN. ULN sektor swasta pada triwulan I didominasi oleh utang pada sektor keuangan yang berkontribusi hingga 29,5%, diikuti oleh industri pengolahan, pertambangan dan listrik, gas dan air bersih. Tergantung pemerintah Kepala Ekonom BII Juniman menilai, membengkaknya ULN swasta April 2015 disebabkan kebutuhan perusahaan untuk membayar utang. "Investasi masih melambat. Akhirnya mereka melakukan
refinancing," kata Juniman. Namun, Juniman melihat, kebutuhan swasta untuk meningkatkan utang tidak begitu besar tahun ini. Alasannya, perlambatan ekonomi saat ini ikut menekan keinginan perusahaan melakukan ekspansi usaha. Juniman memprediksi, ke depan, aktivitas ULN swasta tergantung pada realisasi pengeluaran pemerintah. Jika realisasi belanja pemerintah lambat, swasta tidak akan menarik utang. Korporasi kini
wait and see. Sebab itu, Juniman memproyeksi, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 4,9%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 5,3%. Ekonomi yang lesu ini jadi pengerem utang swasta. Faktor lainnya, rupiah masih bergejolak sehingga swasta enggan berutang valas. Lalu, ada kewajiban melakukan lindung nilai (
hedging). Lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank, BI mengatur tiga hal pokok.
Pertama, rasio lindung nilai. Rasio ini diterapkan dari selisih antara aset valas dengan kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam waktu tiga bulan ke depan hingga enam bulan.
Kedua, rasio likuiditas. Korporasi non bank wajib menyiapkan aset valas tiga bulan sebelum jatuh tempo. Rasio aset valas minimal 50% dari kewajiban valas yang jatuh tempo. Rasio ini naik jadi 70% per 1 Januari 2016.
Ketiga, peringkat utang. Korporasi yang menarik ULN wajib punya peringkat utang paling kurang setara BB yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat. Jika tidak punya peringkat, korporasi dilarang menarik utang luar negeri. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, selama suku bunga luar negeri murah, korporasi swasta masih tetap tertarik mengambil ULN. Biasanya, di saat pengeluaran pemerintah melonjak di triwulan IV, swasta aktif berutang. "Dengan catatan, suku bunga Amerika Serikat belum naik," katanya. Jika bunga The Fed naik, nilai tukar rupiah bisa melemah. Efeknya, swasta yang pendapatannya dalam rupiah menunda menarik utang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie