KONTAN.CO.ID - JAKARTA. John Sumarna, salah satu kreditur PT Rimba Hijau menyatakan bahwa para kreditur ingin pihak direksi turut bertanggung jawab atas pelunasan tagihan kepada kreditur dalam proses kepailitan. Ia mendasarkan upaya tersebut dari UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 97 ayat (3), pasal 104 ayat (2), dan ayat (3). Dalam beleid tersebut, intinya mengatur direksi atawa pimpinan perusahaan dapat dimintai pertanggungjawabannya saat perusahaan diputuskan pailit, jika mereka terbukti melakukan kesalahan. "Dari analisa kami, telah terjadi kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh direksi dan pengurus Rimba Hijau," kata John kepada Kontan.co.id, Senin (8/5).
Pun John menambahkan, ada hukuman pidana yang bisa dialamatkan kepada direksi Rimba Hijau seturut pasal 398, dan pasal 399 KUHP. Yang dapat memidanakan direksi jika terbukti punya andil atas pailitnya perusahaan maupun melakukan kecurangan. Hukuman penjara maksimal tujuh tahun bisa diberikan. Menanggapi hal ini, Catur Agus Saptono kuasa hukum Direktur Rimba Hijau Ari Rphian Perdana menyatakan bahwa mengejar harta direksi guna menambal tagihan dalam kepailitan tak serta merta dapat dilakukan. "Dalam pasal tersebut kalau baca lebih cermat, ada kata apabila. Maka perlu pembuktian, perlu proses lagi. Jadi tidak bisa serta merta dimintai pertanggungjawaban," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/5). Termasuk, soal rencana kreditur mengaitkan kepailitan dengan ancaman pidana. Ia justru mempersilakan, sebabnya sama, butuh pembuktian dan proses lebih lanjut. Pengurus PKPU Rimba Hijau Anggiat Marulitua Sinurat juga menyampaikan hal senada. Butuh pembuktian dan proses lebih lanjut mengaitkan proses kepailitan dengan UU 40/2007, pun soal pasal 398, dan pasal 399 KUHP. Ia mengatakan, tugas kurator dalam kepailitan memang hanya untuk membereskan aset perusahaan, sesuai UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. "Kami hanya akan menjalankan tugas soal pemberesan aset perusahaan, bukan aset personal pimpinannya, karena hanya itu wewenang yang diberikan di UU 47/2004. Jadi kita tak bisa langsung membereskan aset personal sesuai UU 40/2007 selama tak ada pembuktian," jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (8/5). Sebelumnya, dalam rapat kreditur Rimba Hijau, Senin (7/5) beragendakan pemungutan suara perdamaian dinyatakan bahwa Rimba Hijau pailit, sebab mayoritas kreditur menolak proposal perdamaian yang diajukan Rimba Hijau. Dalam rapat tersebut, dari total 149 kreditur dengan total tagihan senilai Rp 27,76 miliar, ada 124 kreditur pemilik tagihan senilai Rp 25,96 miliar yang hadir. Hasilnya 44 kreditur dengan nilai tagihan Rp 10,40 miliar setuju berdamai, sementara 80 kreditur dengan nilai tagihan Rp 15,56 miliar menolaknya. "Tapi perlu diluruskan dulu, Rimba Hijau belum pailit, dan aku masih pengurus PKPU, belum menjadi kurator karena putusannya belum ada," jelas Anggiat.
Dalam proposal perdamaian Rimba Hijau yang terakhir diajukan, tagihan para kreditur rencananya akan dibayar dengan persentase 84,16% dengan jangka waktu pembayaran selama 40 bulan dan pembayaran dilakukan tiap bulannya. Sekadar informasi, Rimba Hijau merupakan perusahaan yang menawarkan investasi melalui penghimpun dana berupa uang dan logam mulia yang diklaim dapat memberikan imbal balik bunga 1,6%-1,8% per bulan. Namun hal tersebut tak pernah didapat nasabah, sebaliknya investasi nasabah justru tak kembali. Atas hal ini pula, salah satu nasabah Rimba Hijau memohonkan PKPU. Rimba Hijau sendiri masuk PKPU sementara sejak 7 Maret 2018 lalu. Sementara perkara ini terdaftar dengan nomor perkara 15/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Niaga Jkt.Pst pada 6 Februari 2018. Saat diputuskan masuk proses PKPU sementara, Rimba Hijau juga masuk daftar hitam Otoritas Jasa Keuangan sebagai investasi ilegal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto