Nasib peternak ayam petelur bak telur di ujung tanduk



KONTAN.CO.ID - BLITAR. Peternak ayam petelur merasakan tekanan bisnis yang berat sepanjang tahun ini. Tekanan datang dari kebijakan pemerintah, hingga faktor pakan yang menyebabkan peternak merugi.

Tekanan bisnis benar-benar dirasakan oleh peternak ayam petelur di Blitar, Jawa Timur. Blitar merupakan salah satu sentra produsen telur terbesar di Indonesia dan pemasok telur terbanyak kedua setelah Jabodetabek.

Namun potensi bisnis yang besar itu mulai luruh karena kurangnya dukungan pemerintah. Bahkan akibat kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan antibiothic growth promoters (AGP), peternak mulai terbebani karena kebijakan itu berlaku efektif mulai Januari 2018.


Larangan ini mengacu UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan. Kementerian Pertanian pun mengeluarkan Permentan No. 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Peraturan ini ditetapkan karena antibiotik (antimikroba) bila digunakan secara berlebihan atau tidak bijak, dapat menjadi ancaman pada kesehatan hewan. Berdasarkan perkiraan para ahli, jika laju resistensi antimikroba (AMR) tidak bisa dikendalikan, maka AMR dapat menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050.

Tanpa APG, biaya produksi peternak meningkat. Wahyu Sanjoyo, salah satu peternak ayam petelur di Desa Kebonduren, Kecamatan Ponggok, Blitar, Jawa Timur mengaku tak sanggup lagi membiayai produksi telur dari 7.000 ekor ayam miliknya. Ia pun terpaksa menjual sekitar 2.000 ekor ayam untuk mengurangi biaya produksi.

"Sekarang tinggal 5.000 ekor ayam dengan luas kandang 300 meter per segi, " kata Wahyu di depan kandang ternak ayam miliknya, Kamis (13/12).

Wahyu memiliki tiga kandang ayam berbentuk persegi panjang. Kini, satu kandang paling pojok telah kosong. Dengan 5.000 ekor ayam itu, Wahyu membutuhkan biaya Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per hari dengan produksi telur 200 kilogram (kg) per hari.

"Kalau dulu ya pasti berbeda biaya yang dibutuhkan, lebih murah. Saya terpaksa kurangi ayam untuk mengecilkan biaya produksi, " ujar Wahyu sambil menatap sesekali ke arah kandang ayam yang kosong.

Tekanan biaya produksi bertambah akibat pemerintah gagal memantau ketersediaan pakan ternak. Kelangkaan jagung membuat harga pakan ternak mendaki hingga Rp 6.000 per kg. Biasanya, peternak hanya mengeluarkan Rp 4.000-an per kg.

"Produksi telur terus turun, hingga tinggal 120 kg–150 kg per hari," ungkap Wahyu.

Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan (Pinsar) Jawa Timur Hidayat Rahman mengaku persoalan pakan ini sangat memukul peternak. Kelangkaan pakan bakal menurunkan produktivitas telur. Catatan Hidayat, produksi telur di Blitar tahun 2018 mencapai 850 ton-950 ton per hari. Dengan populasi 20 juta ekor ayam.

"Tahun 2019, produksi telur diperkirakan hanya akan tumbuh 2%," ujar Hidayat. Tahun-tahun sebelumnya, produksi telur mampu tumbuh di atas 5% per tahun.

Menurut Hidayat, Blitar telah menerima 10.000 ton jagung "pinjaman" dan 36.000 ton jagung impor. Dengan kebutuhan pakan ternak di Blitar mencapai 1.000 ton hingga 1.500 ton per hari, pasokan jagung itu hanya akan bertahan sampai lima minggu saja. "Jagung pinjaman sudah masuk bulan lalu, tapi bagaimana untuk bulan selanjutnya," ujarnya.

Jagung pinjaman merujuk dari penugasan Kementerian Pertanian (Kemtan) kepada dua perusahaan pakan ternak besar (feedmill), yaitu Charoen Pokphand dan Japfa untuk menggelontorkan 10.000 ton jagung. Penugasan ini berupa pinjaman, yang nantinya akan diganti oleh Bulog karena sedang menunggu kedatangan jagung impor.

Menurut Hidayat, impor jagung 100.000 ton itu tak akan cukup hingga menunggu masa panen jagung Maret 2019. Ia berharap pemerintah dapat melakukan impor tahap II. "Padahal peternak di Malang, Tulungagung, Kediri, Magetan, Pasuruan belum mendapatkan. Makanya kami usulkan ada impor kedua," ujar Hidayat.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui kesalahan pemerintah dalam tata niaga jagung. "Dua tahun lalu Menteri Pertanian menganggap jagung cukup, makanya peran Bulog lebih dioptimalkan ke beras," tutur Darmin saat kunjungan kerja ke Blitar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat