JAKARTA. Rapat Pengambilan Keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR menyangkut RUU atas Revisi Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung alot. Hal ini disebabkan pembahasan tetap tak menemukan titik temu antara yang pro dan kontra dilanjutkannya RUU tersebut. Dalam Rapat Baleg di Gedung DPR, Selasa (9/7),Ketua Baleg Ignatius Mulyono bilang, pembahasan RUU Revisi UU Pilpres sudah memakan waktu 1,5 tahun. Sejak awal, beberapa Fraksi menganggap tak perlu ada perubahan UU Pilpres. Enam Fraksi tersebut antara lain Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, dan PKB. Sedangkan Fraksi yang menginginkan ada perubahan adalah Fraksi, Gerindra, PPP, PKS dan Hanura. Gagalnya kesepakatan ini, menurut Ignatius, telah diupayakan dijembatani oleh Ketua DPR Marzuki Alie, yakni dengan memanggil sembilan ketua Fraksi dalam Rapat Pleno Pimpinan DPR. Hasilnya: sikap Fraksi tidak berubah. Akibatnya, keputusan selanjutnya diserahkan kepada Baleg. Namun dalam Rapat Baleg hari ini, sikap fraksi tetap tak jauh berubah. Menurut Nurul Arifin yang mewakili Fraksi Golkar, UU Pilpres lama masih kompatible dengan Sistem Presidensial yang dianut Indonesia. Besaran Presidential Treshold sebesar 20% dalam UU Pilpres saat ini menjamin kestabilan pemerintahan sistem presidensial. Pendapat serupa juga muncul dari Arif Wibowo, wakil dari Fraksi PDIP. Menurutnya, RUU Pilpres tidak urgen untuk diwujudkan. Sebab, DPR saat ini perlu berkonsentrasi dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 yang semakin dekat daripada sibuk membahas RUU Revisi UU Pilpres. "Apalagi pembahasan molor dari jadwal, ini bisa mengganggu kinerja KPU dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pilpres," kata Arif. Bahkan, mekanisme penguatan sistem presidensial, menurut Arif tidak harus lewat UU. Misal membangun koalisi sejak sebelum pemerintahan terbentuk. Hal ini bisa diatur dalam Peraturan KPU. "Hasil Pemilu Legislatif menjadi acuan untuk melakukan penyesuaian diri," kata Arif. Pendapat berbeda muncul dari Ahmad Yani, Anggota Fraksi PPP. Menurut Yani, tingginya ketentuan Presidential Treshold 20% dapat membunuh peluang munculnya calon-calon pemimpin baru. Oleh sebab itu, ia tak setuju jika RUU Revisi UU Pilpres digugurkan di tengah jalan.
Nasib revisi UU Pilpres masih alot di Baleg DPR
JAKARTA. Rapat Pengambilan Keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR menyangkut RUU atas Revisi Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung alot. Hal ini disebabkan pembahasan tetap tak menemukan titik temu antara yang pro dan kontra dilanjutkannya RUU tersebut. Dalam Rapat Baleg di Gedung DPR, Selasa (9/7),Ketua Baleg Ignatius Mulyono bilang, pembahasan RUU Revisi UU Pilpres sudah memakan waktu 1,5 tahun. Sejak awal, beberapa Fraksi menganggap tak perlu ada perubahan UU Pilpres. Enam Fraksi tersebut antara lain Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, dan PKB. Sedangkan Fraksi yang menginginkan ada perubahan adalah Fraksi, Gerindra, PPP, PKS dan Hanura. Gagalnya kesepakatan ini, menurut Ignatius, telah diupayakan dijembatani oleh Ketua DPR Marzuki Alie, yakni dengan memanggil sembilan ketua Fraksi dalam Rapat Pleno Pimpinan DPR. Hasilnya: sikap Fraksi tidak berubah. Akibatnya, keputusan selanjutnya diserahkan kepada Baleg. Namun dalam Rapat Baleg hari ini, sikap fraksi tetap tak jauh berubah. Menurut Nurul Arifin yang mewakili Fraksi Golkar, UU Pilpres lama masih kompatible dengan Sistem Presidensial yang dianut Indonesia. Besaran Presidential Treshold sebesar 20% dalam UU Pilpres saat ini menjamin kestabilan pemerintahan sistem presidensial. Pendapat serupa juga muncul dari Arif Wibowo, wakil dari Fraksi PDIP. Menurutnya, RUU Pilpres tidak urgen untuk diwujudkan. Sebab, DPR saat ini perlu berkonsentrasi dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 yang semakin dekat daripada sibuk membahas RUU Revisi UU Pilpres. "Apalagi pembahasan molor dari jadwal, ini bisa mengganggu kinerja KPU dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pilpres," kata Arif. Bahkan, mekanisme penguatan sistem presidensial, menurut Arif tidak harus lewat UU. Misal membangun koalisi sejak sebelum pemerintahan terbentuk. Hal ini bisa diatur dalam Peraturan KPU. "Hasil Pemilu Legislatif menjadi acuan untuk melakukan penyesuaian diri," kata Arif. Pendapat berbeda muncul dari Ahmad Yani, Anggota Fraksi PPP. Menurut Yani, tingginya ketentuan Presidential Treshold 20% dapat membunuh peluang munculnya calon-calon pemimpin baru. Oleh sebab itu, ia tak setuju jika RUU Revisi UU Pilpres digugurkan di tengah jalan.