Nasib rupiah



Rupiah semakin terpuruk di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Akhir pekan kemarin, kurs spot dollar-rupiah antarbank di Jakarta (JISDOR) kembali menembus level keramat Rp 14.500 melemah sekitar 7% sejak awal 2018. Rupiah yang cenderung loyo ini tentu bikin dag-dig-dug. Selain membuat pengusaha pusing mengatur bisnis, penguatan dollar juga mulai menggerogoti daya beli masyarakat. Lonjakan biaya bahan baku impor membuat pengusaha mulai mengerek harga produk.

Sialnya, akar masalah rupiah kali ini di luar kendali kita. Sekadar mengingatkan, adalah tren penguatan ekonomi dan kenaikan bunga negeri Uwak Sam yang menjadi episentrum gempa rupiah kali ini. Kondisi itu membuat para investor menjual aset investasi mereka di negara berkembang dan membawa pulang ke Amerika. Di Indonesia, aksi jual saham dan obligasi investor asing ini membuat rupiah langsung terpukul.

Aksi Presiden Donald Trump mengobarkan perang dagang menciptakan masalah baru. Selain memicu ketidakpastian, aktivitas perdagangan global pun terganggu. Para pengusaha mengeluh, kegiatan ekspor menurun akhir-akhir ini. Padahal, kita tahu, dollar hasil ekspor para pengusaha berperan besar dalam menopang ekonomi. Selain menjadi bahan bakar ekonomi, pasokan dollar dari para eksportir juga menopang rupiah.


Apakah masalah ini akan cepat selesai? Jika menyimak gaya nekad Doland Trump, tampaknya, kita masih akan melihat gejolak perekonomian dan perdagangan global dalam waktu yang lama. Dus, rupiah juga masih akan terombang-ambing hingga akhir tahun, atau bahkan tahun depan.

Mencermati cerita di atas, tidak berlebihan jika Presiden Jokowi sampai mengumpulkan para konglomerat dan mengajak mereka untuk membawa pulang dollar hasil ekspor ke Indonesia. Pemerintah mencatat, masih ada 15% hingga 20% dollar hasil ekspor yang dipakir di luar negeri.

Tak mau kalah, Bank Indonesia kembali mengaktifkan lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 bulan dan 12 bulan. Diharapkan, penerbitan instrumen bank sentral ini mampu menahan arus keluar dana asing.

Upaya pemerintah dan bank sentral ini layak diapresiasi. Namun, di luar obat rupiah yang bersifat kuratif dan jangka pendek, pemerintah tak boleh melupakan upaya jangka panjang untuk memperbaiki struktur perekonomian di dalam negeri. Program memperkuat manufaktur bernilai tambah di dalam negeri harus konsisten dilaksanakan. Dengan demikian, ketergantungan terhadap barang impor akan berkurang dan perekonomian lebih tahan banting di masa mendatang.•

Cipta Wahyana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi