Nasib sawit di tangan presiden terpilih



Pesta demokrasi telah usai. Meski begitu hasilnya secara konstitusi masih harus menunggu hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, siapa pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah bisa ditebak berdasarkan perhitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei. Mereka memprediksi pasangan Joko Widodo-Maruf Amin (Jokowi-Amin) sebagai pemenangnya.

Presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik pada Oktober tahun ini. Era baru pemerintahan akan dimulai. Meski Jokowi adalah presiden petahana, pemerintahannya nanti pasti mengalami perubahan, baik formasi menteri maupun arah kebijakannya.

Segudang problema pembangunan dan janji-janji kampanye siap menanti, termasuk persoalan sengkarut pengelolaan sawit yang banyak dibahas dalam debat Pilpres lalu. Dibanding presiden sebelumnya, Jokowi sangat responsif dalam kebijakan sawit. Buktinya adalah dia berani menerbitkan peraturan mengenai moratorium perizinan lahan sawit yang dikeluarkan pada 2018 lalu.


Pada debat Pilpres pun Jokowi konsisten ingin mengembangkan bahan bakar nabati atau biofuel dari sawit yang kerap disebut biodiesel. Sawit dianggap sebagai solusi pengembangan energi terbarukan (renewable energy) di Indonesia. Dari kebijakan sebelumnya dan janji kampanyenya, kita bisa paham bahwa Jokowi akan mendorong sektor hilir minyak sawit untuk energi terbarukan dan memperbaiki tata kelola lahan dengan menghentikan sementara pemberian izin baru, melakukan evaluasi izin yang sudah terbit serta mendorong produktivitas lahan.

Kita paham bahwa sejak tanaman monokultur asli Afrika itu dikembangkan di tanah air, tak banyak nilai tambah (value added) yang dihasilkan darinya. Hal itu terjadi karena kita hanya fokus pada produksi bahan mentah saja. Meski sejak 2008, kita berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan mengalahkan Malaysia, namun dari nilai tambah komoditas, kita jauh di bawah mereka.

Faktanya memang demikian. Ekspor sawit Indonesia masih didominasi bahan mentah dan bahan setengah jadi, seperti minyak sawit curah atau crude palm oil (CPO), minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO), dan minyak goreng curah (RBD Olein). Sedangkan, negeri jiran tersebut telah mampu menghasilkan produk jadi (end product) dari minyak sawit, seperti kosmetik, suplemen, biskuit, dan sebagainya.

Langkah Jokowi untuk menghilirkan minyak sawit sangat tepat. Sebagai konsumen terbesar, penyedia produk akhir berbahan baku sawit seharusnya berasal dari dalam negeri. Khusus minyak goreng, kita sudah melakukannya. Kita perlu kembangkan lagi beraneka produk lainnya, termasuk biofuel sawit.

Indonesia membutuhkan biofuel untuk mengatasi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM). Minyak sawit mampu diolah menjadi green diesel (penganti solar), green gasoline (penganti premium), dan green avtur (penganti avtur). Saat ini, kita sudah mampu mencampur 20% biodiesel ke dalam solar (B20). Jokowi ingin mendorong secara bertahap campurannya menjadi B50 dan B100. Bila itu bisa segera dilakukan, maka impor solar yang mencapai 15-16 juta kiloliter (KL) per tahun bisa berkurang signifikan.

Moratorium sawit

Jokowi sudah memulai membenahi sawit dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 terkait Moratorium Perizinan Kebun Sawit. Meski demikian, setelah lebih tujuh bulan sejak beleid itu terbit, belum ada kemajuan signifikan dalam pelaksanaannya. Amanat beleid ini jelas, yaitu menghentikan pemberian izin baru, evaluasi semua izin yang sudah diterbitkan, dan fokus pada peningkatan produktivitas lahan.

Untuk melaksanakannya harus dibentuk tim pelaksanaan moratorium sawit yang terdiri dari tim nasional dan tim daerah dengan melibatkan lintas sektor. Sayangnya, tim tersebut belum terbentuk sampai sekarang. Malahan, kita tak pernah mengetahui sejauh mana petunjuk teknis sudah disiapkan sebagai modul bagi tim untuk melakukan evaluasi perizinan.

Selanjutnya, pemerintah pun masih bingung memulai pelaksanaan evaluasi perizinan. Hal ini dikarenakan tidak adanya data dan peta yang terintegrasi sebagai basis untuk melakukan evaluasi perizinan. Data kepemilikan sawit nasional masih simpang-siur. Beberapa kementerian dan lembaga mengeluarkan data yang berbeda-beda, seperti Kementerian Pertanian (Kemtan) mencatat 14,3 juta hektare (ha), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat 16,8 juta ha, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) mencatat 17,9 juta ha. Sengkarut data ini harus segera diselesaikan agar proses evaluasi perizinan berjalan baik.

Kita menyadari banyak pekerjaan penting yang menanti Jokowi dan pemerintahan barunya ke depan. Tapi, menyelesaikan sengkarut pengelolaan sawit harus menjadi prioritas dalam satu tahun pertama pemerintahannya nanti.

Selain dua prioritas di atas. Jokowi juga perlu lebih tegas terhadap perusahaan sawit yang tidak punya niat baik dalam melaksanakan bisnisnya. Banyak perusahaan yang melanggar ketentuan hukum, seperti merambah kawasan hutan lindung, membuka area gambut yang dilindungi pemerintah, membuka lahan dengan cara membakar, melakukan pencemaran lingkungan, menempati lahan masyarakat tanpa memenuhi prosedur, pelanggaran hak asasi manusia, (HAM) dan ketidakpatuhan membayar pajak.

Praktik tak terpuji seperti yang disebut di atas lazim dilakukan dan pemerintah selama ini membiarkannya. Hal ini telah memperburuk citra Indonesia dalam perdagangan minyak nabati global.

Minyak sawit Indonesia identik dengan deforestasi, penyumbang emisi, perusak lingkungan, dan pelanggaran HAM. Citra buruk ini sudah terlanjur menyebar dan menyebabkan minyak sawit kita diblokade di luar negeri, seperti yang saat ini tengah dilakukan Uni Eropa.

Kita sangat berharap, pemerintahan Jokowi-Amin ke depan bisa menyelesaikan tumpukan masalah tersebut agar kita bisa menunjukan bahwa industri sawit Indonesia telah jauh mengalami perbaikan menuju pengelolaan sawit berkelanjutan. Selain itu, membenahi masalah di atas dapat menciptakan iklim usaha yang baik.

Pada akhirnya, sawit sudah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, penyumbang ekspor terbesar, dan penyerap lapangan pekerjaan, sehingga pemerintah harus segera membenahinya. Kita tak perlu lagi memperluas lahan karena sudah sangat luas untuk ukuran perkebunan monokultur. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki pengelolaannya agar produktivitas lahan bisa ditingkatkan.

Pengembangan sektor hilir adalah keharusan dalam industri sawit. Tanpa hilirisasi, kita hanya sebagai pengekspor bahan baku bagi industri pangan dan energi global. Oleh karena itu, Jokowi sebagai presiden terpilih nanti harus melakukannya karena sawit telah menjadi penghidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia.♦

Wiko Saputra Peniliti Kebijakan Ekonomi Auriga Nusantara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi