KONTAN.CO.ID - Memasuki penghujung tahun 2025, lanskap pasar kerja bagi lulusan baru, khususnya Generasi Z (Gen Z), menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perlambatan rekrutmen di tingkat pemula (entry-level) serta penetrasi teknologi kecerdasan buatan (AI) yang masif memicu kekhawatiran mengenai relevansi gelar akademik dalam menjamin stabilitas karier di masa depan. Fenomena meningkatnya jumlah pemuda yang tidak sedang bekerja, menempuh pendidikan, atau mengikuti pelatihan (NEET) menjadi sorotan tajam bagi banyak pihak.
Baca Juga: Profil Ratu Thailand Suthida yang Sukses Raih Medali Emas di SEA Games 2025 Namun, di balik awan mendung ketidakpastian ekonomi tersebut, sejumlah bos perusahaan raksasa dunia justru melihat adanya peluang besar bagi mereka yang mampu mengadopsi pola pikir yang tepat. Melansir laporan dari
Fortune, para CEO dari perusahaan skala internasional seperti Amazon, Walmart, hingga McDonald’s memberikan perspektif optimis bahwa peluang karier tetap terbuka lebar, meski dengan tuntutan adaptabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya.
Jensen Huang: Melirik Keterampilan Teknis Terampil
Di tengah hiruk-pikuk teknologi digital, CEO Nvidia, Jensen Huang, justru memberikan saran unik dengan mendorong Gen Z untuk melihat potensi pada sektor perdagangan terampil (skilled trades) seperti teknisi listrik, tukang pipa, atau tukang kayu. Menurut Huang, pekerjaan-pekerjaan ini jauh lebih tahan terhadap disrupsi AI dan sangat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur pendukung industri teknologi, seperti pabrik-pabrik pusat data. Sektor ini diprediksi akan mengalami pertumbuhan pesat yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar setiap tahunnya.
Julie Sweet: Keingintahuan sebagai Keunggulan Kepemimpinan
CEO Accenture, Julie Sweet, menekankan bahwa merangkul ketidakpastian adalah kunci utama untuk menapak tangga karier. Sweet, yang tidak memiliki latar belakang bisnis konvensional sebelum memimpin salah satu firma konsultasi terbesar dunia, percaya bahwa transparansi dan keberanian untuk bertanya adalah "kekuatan super" dalam dunia korporasi. Dikutip dari Fortune, Sweet menyatakan bahwa menjadi seorang pembelajar yang mendalam (deep learner) sangat krusial, terutama bagi mereka yang berada di posisi puncak. Bagi Gen Z, ia menyarankan untuk tidak ragu mencari bantuan ketika menghadapi aspek teknis yang belum dikuasai, karena keterbukaan semacam ini justru membangun kepercayaan dan nilai tambah bagi perusahaan.
Baca Juga: Jebakan Presisi yang Hancurkan Investor Menurut Warren Buffett Andy Jassy: Eksplorasi Lebih Penting daripada Rencana Kaku
Tekanan untuk segera menentukan jalur karier seumur hidup sering kali membebani para lulusan baru. CEO Amazon, Andy Jassy, menilai bahwa tekanan tersebut sering kali muncul dari diri sendiri dan sebenarnya tidak diperlukan. Ia melihat banyak anak muda merasa harus mengetahui tujuan hidup mereka secara pasti pada usia awal 20-an. Jassy merefleksikan perjalanannya sendiri yang sempat mencoba berbagai profesi, mulai dari penyiar olahraga, pelatih sepak bola, hingga perbankan investasi sebelum memimpin Amazon. Menurut Jassy, pada fase awal karier, mempelajari apa yang tidak Anda sukai jauh lebih penting daripada sekadar mengetahui apa yang ingin Anda lakukan, karena hal itu akan membantu mengerucutkan fokus jangka panjang.
Lisa Su: Menghadapi Masalah Paling Sulit
Bagi CEO AMD, Lisa Su, pertumbuhan tercepat justru terjadi di tengah masalah yang paling sulit. Ia memberikan saran agar para pencari kerja tidak menghindari tantangan, melainkan justru "berlari" menuju masalah tersebut. "Larilah menuju masalah tersulit, jangan berjalan, larilah. Di sanalah Anda akan menemukan peluang terbesar, belajar paling banyak, dan membedakan diri Anda dari yang lain," ujar Su sebagaimana dilansir oleh
Fortune. Ia menambahkan bahwa memilih tantangan berat adalah jalur tercepat untuk memberikan dampak nyata dan mempercepat progres karier.
Jane Fraser: Membangun Resiliensi dan Penilaian Manusia
CEO Citi, Jane Fraser, menyoroti realitas bahwa banyak pekerjaan saat ini mungkin akan berubah bentuk atau hilang dalam beberapa tahun ke depan akibat AI. Dalam menghadapi situasi ini, Fraser berpendapat bahwa memiliki jawaban yang benar tidak lagi sepenting memiliki penilaian (judgment) yang sehat dan intuisi manusiawi. Ia mendorong generasi muda untuk terus bermimpi dan tidak membatasi diri pada satu bidang tertentu (pigeonholed). Kemampuan untuk melakukan reinventing atau menciptakan kembali profil diri di berbagai titik karier akan menjadi keterampilan yang sangat dihargai di masa depan yang serba tidak terduga.
Tonton: BGN Klaim Anggaran MBG Rp 71 Triliun Bisa Jangkau 50 Juta Penerima Chris Kempczinski: Kepemilikan Atas Karier Pribadi
Pesan tegas datang dari CEO McDonald’s, Chris Kempczinski, yang menekankan pentingnya proaktif. Ia mengingatkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih peduli terhadap perkembangan karier seseorang selain individu itu sendiri. Menjadi sosok yang selalu berkata "ya" terhadap peluang dan tugas baru dapat meningkatkan visibilitas di mata manajemen. Kempczinski berpendapat bahwa bersikap terbuka terhadap berbagai tugas tambahan akan membuat seorang karyawan menjadi pilihan pertama ketika perusahaan mencari kandidat untuk promosi atau posisi baru.
Doug McMillon: Kesediaan untuk Menjadi Sukarelawan
Mantan CEO Walmart, Doug McMillon, yang memulai kariernya dari level bawah sebagai pembongkar truk, menekankan pentingnya kerja sama tim dan inisiatif. Ia menyarankan para pekerja muda untuk selalu mengajukan diri atau "mengangkat tangan" saat ada tugas yang diabaikan oleh orang lain. Strategi ini, menurut McMillon, tidak hanya memberikan pengalaman baru tetapi juga memposisikan individu sebagai kandidat promosi yang minim risiko bagi manajemen.
Dengan menunjukkan kemampuan kerja sebelum posisi tersebut diberikan secara resmi, pekerja dapat secara alami naik ke jenjang yang lebih tinggi melalui pembuktian kompetensi secara langsung di lapangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News