Nasib jemaah korban penyelewengan jasa umrah tetap tidak jelas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketokan palu majelis hakim di pengadilan terhadap pemilik perusahaan penyedia jasa umrah yang bermasalah tak mampu mengembalikan uang para jemaah yang menjadi korban. Sejauh ini, hak para jemaah korban penyelewengan umrah tetap tidak jelas.

Kasus terbaru adalah bos Abu Tours Nursyariah Mansur yang akhirnya dijatuhi hukuman 19 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Makasar, Kemarin (21/2). Hal yang sama juga dialami Komisaris Abu Tours Chaeruddin yang divonis 14 tahun penjara dan Manajer Keuangannya M Kasim yang divonis 16 tahun penjara.

Mereka terbukti dan meyakinkan melanggar Pasal 372 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penggelapan dan pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.


Sebab majelis hakim menilai ketiganya terlibat dalam pembelian aset perusahaan yang menggunakan uang dari jemaah Abu Tours. Namun sayangnya dalam putusan tersebut masih belum jelas bagaimana kejelasan hak para ribuan jamaah. Apalagi, saat ini Abu Tours telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Makassar tersebut.

Pun keadaan yang sama juga dialami oleh Jamaat dari First Travel. Perusahaan yang dinaungi suami istri Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan juga hingga saat ini belum memberikan kepastian kepada para 63.000 jamaah umrah.

Adapun keduanya telah menjalani vonis 20 tahun penjara untuk Andika dan denda Rp 10 miliar. Sedangkan Anniesa 18 tahun dan denda Rp 10 miliar. Meski putusan hakim Pengadilan Negeri Depok itu cukup berat, para jamaah masih gigit jari.

Pasalnya, dalam putusan tersebut justru menyatakan aset dari perusahaan First Travel dikuasi oleh negara. Hal tersebut semakin nyata, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi kedua bos First Travel itu.

MA menilai, sulit menentukan dari 63.000 korban jamaah siapa korban atas aset yang nilainya hanya Rp 8,8 miliar. Sehingga demi kepastian hukum, aset itu disita untuk negara.

Atas fakta tersebut, Ketua YLKI Tulus Abadi pun merasa geram. Sebab, yang terpenting dan diinginkan oleh konsumen bukanlah hukum yang berat, tapi bagaimana hak-haknya bisa terpenuhi.

"Ini bukan soal sepadan atau tidak. Apakah setelah dihukum hak-hak keperdataan konsumen yang menjadi korban bisa dipulangkan?," tegas dia kepada Kontan.co.id, Jumat (22/2).

Maka dari itu, ia menegaskan, disinilah fungsinya pemerintah untuk memikirkan hal tersebut. "Karena bagaimanapun ini tanggungjawab pemerintah khususnya kementerian agama," tambah Tulis.

Apalagi, berdasarkan catatan YLKI, aduan konsumen tentang penyedia jasa Raharja dan haji termasuk sebagai aduan terbanyak sepanjang 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli