JAKARTA. Mantan Bendaha Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin akhirnya divonis enam tahun penjara. Adapun vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Dalam sidang putusan yang diketuai majelis hakim Ibnu Basuki Widodo mengatakan, Nazaruddin terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) semasa dia menjabat sebagai anggota DPR periode 2009-2014. "Terdakwa terbuti telah melanggar pasal 378 KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP dan pasal 3 ayat 1 huruf a dan c Undang-undang No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," jelas Ibnu.
Dalam amarnya pula, majelis juga menjatuhkan denda dengan dakwaan JPU sebesar Rp 1 miliar subsidier satu tahun penjara. Meski begitu, majelis dalam putusannya mengatakan ada beberapa aset yang telah disita JPU dikembalikan kepada terdakwa. Adapun aset tersebut antara lain, perkebunan kelapa sawit di daerah Mandau, beberapa klaim asuransi, rumah di alam sutera, dan jam tangan hitam merek Patek Philippe. Majelis berpendapat aset yang dijadikan barang bukti tersebut telah dimiliki oleh Nazarudin sebelum ia menjadi anggota DPR. Mendengar putusan tersebut dalam persidangan Nazaruddin mengaku tak akan mengajukan banding. "Saya terima semua putusan majelis dengan ikhlas," ungkapnya. Sementara itu ditemui seusai persidangan salah satu JPU KPK, Kresno Anton Wibowo mengatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim itu. "Kita akan kaji terlebih dahulu, lagipula kami masih punya waktu tujuh hari untuk mengajukan upaya hukum," jelas dia kepada wartawan. Pihaknya juga mengaku tak keberatan atas adanya aset yang telah disita, dikembalikan kepada terdakwa. Pihaknya pun menaksir nilai aset yang dikembalikan itu tak mencapai Rp 100 miliar. "Pokoknya semua aset selain yang disebutkan majelis tadi, termasuk semua kepemilikan saham sudah menjadi hak jaksa untuk disita," sambung Kresna. Sekadar mengingatkan, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut Nazaruddin dengan hukuman pidana selama tujuh tahun dengan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun penjara. JPU KPK juga menuntut agar harta Nazaruddin dirampas untuk negara Senilai Rp 600 miliar. Berdasarkan keterangan Jaksa Kresno menjelaskan Rp 300 miliar berasal dari saham dan uang yang disita sekitar Rp 100 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk aset dari properti seperti rumah dan pabrik yang nilainya diperkirakan cukup besar. Asal tahu saja, jumlah harta kekayaan Nazaruddin yang didapat dari hasil pencucian uang seluruhnya sekitar Rp 1 triliun. Selain itu, beberapa pencucian uang yang telah dilakukan Nazaruddin dilakukan menggunakan rekening orang lain diluar negeri seperti Singapura. Sehingga, KPK kesulitan untuk menyita aset. Nazaruddin sebelumnya didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.
Saat menerima gratifikasi, Nazar masih berstatus sebagai anggota DPR RI. Nazar juga merupakan pemilik dan pengendali Grup Anugrah yang berubah nama menjadi Grup Permai. Nazaruddin juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi. Pembelian sejumlah saham yang dilakukan Nazaruddin dilakukan melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia menggunakan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Permai, kelompok perusahaan milik Nazar. Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Grup Permai berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang dana anggarannya berasal dari pemerintah. Uang tersebut salah satunya digunakan oleh Nazaruddin untuk membeli saham PT Garuda Indonesia pada tahun 2011 menggunakan anak perusahaan Grup Permai. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia