JAKARTA. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pajak. Faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya atau yang biasa dikenal sebagai faktur pajak fiktif menjadi modus yang paling banyak dilakukan para pengemplang pajak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dari tahun 2008 sampai dengan 2013 terdapat 100 kasus yang berkenaan dengan faktur pajak rekayasa. Tidak main-main, total potensi kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp 1,5 triliun. Untuk 2013 sendiri, terdapat 20 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 239,9 miliar. Direktur Intelijen dan Penyelidikan Ditjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, kasus faktur pajak rekayasa ini dari segi populasi kasus menempati urutan teratas kasus penggelapan pajak yaitu berkisar di atas 50%. Selebihnya adalah kasus memungut pajak namun tidak melakukan penyetoran kepada Ditjen pajak dan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang tidak benar. Penerbitan faktur pajak rekayasa ini bukan hanya berasal dari perusahaan yang terdaftar, namun juga berasal dari perusahaan yang tidak terdaftar. "Sektornya kebanyakan perdagangan," ujar Yuli, Kamis (16/1). Sudah banyak cara dilakukan Ditjen Pajak untuk menurunkan tingkat faktur pajak rekayasa ini. Pada tahun 2012 kemarin, DJP menghapus Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak mempunyai kegiatan usaha. Banyak sekali kejadian pelanggaran kejahatan di sektor ini karena pengusaha bisa menggunakan PKP terdaftar namun tidak diketahui oleh pihak DJP. Kemudian pada tahun 2013 DJP mulai memberikan jatah kepada masing-masing PKP dengan penerbitan nomor. Sehingga kalau sudah ada nomor faktur pajak yang keluar dari jatah yang sudah dialokasikan DJP maka tidak akan lagi diterbitkan faktur pajak yang sama. Ini untuk menghindari faktur pajak dari transaksi yangsebenarnya. Sistem perpajakan IT
Negara rugi Rp 1,5 triliun dari pajak fiktif
JAKARTA. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pajak. Faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya atau yang biasa dikenal sebagai faktur pajak fiktif menjadi modus yang paling banyak dilakukan para pengemplang pajak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dari tahun 2008 sampai dengan 2013 terdapat 100 kasus yang berkenaan dengan faktur pajak rekayasa. Tidak main-main, total potensi kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp 1,5 triliun. Untuk 2013 sendiri, terdapat 20 kasus dengan potensi kerugian sebesar Rp 239,9 miliar. Direktur Intelijen dan Penyelidikan Ditjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, kasus faktur pajak rekayasa ini dari segi populasi kasus menempati urutan teratas kasus penggelapan pajak yaitu berkisar di atas 50%. Selebihnya adalah kasus memungut pajak namun tidak melakukan penyetoran kepada Ditjen pajak dan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang tidak benar. Penerbitan faktur pajak rekayasa ini bukan hanya berasal dari perusahaan yang terdaftar, namun juga berasal dari perusahaan yang tidak terdaftar. "Sektornya kebanyakan perdagangan," ujar Yuli, Kamis (16/1). Sudah banyak cara dilakukan Ditjen Pajak untuk menurunkan tingkat faktur pajak rekayasa ini. Pada tahun 2012 kemarin, DJP menghapus Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak mempunyai kegiatan usaha. Banyak sekali kejadian pelanggaran kejahatan di sektor ini karena pengusaha bisa menggunakan PKP terdaftar namun tidak diketahui oleh pihak DJP. Kemudian pada tahun 2013 DJP mulai memberikan jatah kepada masing-masing PKP dengan penerbitan nomor. Sehingga kalau sudah ada nomor faktur pajak yang keluar dari jatah yang sudah dialokasikan DJP maka tidak akan lagi diterbitkan faktur pajak yang sama. Ini untuk menghindari faktur pajak dari transaksi yangsebenarnya. Sistem perpajakan IT