KONTAN.CO.ID - Pulang kampung-nya buron 11 tahun kasus
cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, sungguh menghina wibawa negara. Sebagai seorang buron, ia leluasa masuk Indonesia, mengurus e-KTP, memperpanjang paspor di kantor imigrasi dan mendaftarkan peninjauan kembali atas kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belakangan ketahuan, Djoko ternyata mengantongi surat jalan yang ditandatangani Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo. Dia pula yang menerbitkan surat bebas Covid-19 bagi Djoko. Prasetijo pun dicopot dari jabatannya oleh Kapolri. Ada dugaan, penerbitan
katabelece tersebut dibekingi komplotan kuat, mengingat jabatan Prasetijo bukan strategis di struktur Polri dan tak berwewenang menerbitkan surat jalan. Apalagi beberapa waktu kemudian, dua jenderal lain juga diberhentikan dari jabatannya yakni Kepala Divisi Hubungan Internal Polri (Kadivhubinter), Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris National Central Bureau (CNB) Interpol Brigjen Nugroho Wibowo. Mereka dicopot terkait
red notice Djoko yang terhapus sistem Interpol pusat.
Yang jelas, kesaktian Djoko itu membuahkan kecurigaan publik: institusi hukum tak serius mengawal berbagai kasus korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Bisa saja publik menuduh secara lebih berani, mengambil sedikit teori dilema tahanan (
dilemma prisioners)-nya Flood dan Desher, bahwa ada kesepakatan diam-diam di antara oknum-oknum tertentu yang mencoba memberikan perlindungan kepada Joker demi membebaskannya dari hukuman penjara. Dengan kemewahan dan jaringan kapitalnya, Djoko tentu saja punya potensi besar untuk mendikte institusi hukum.
Ruang misteri Mungkin benar yang dikatakan Elias Canetti (dalam Crowds and Power, 1984) bahwa kerahasiaan itu terletak pada inti kekuasaan. Di dalam kekuasaan hukum kerap tersimpan ruang-ruang misteri, yang sulit diendus rakyat kebanyakan. Di ruang itulah proses, termasuk aturan-aturan hukum dengan mudah diterabas. Ini mirip dengan apa yang dikatakan Tacitus, sejarawan Roma (dalam Magnus Ohman, 2013: 9),
in a state where corruption abounds, laws must be every numerous (di negara yang banyak kasus korupsinya, (aturan) hukum pasti sangat banyak). Artinya inflasi peraturan hukum tidak dengan sendirinya dapat mereduksi korupsi, tetapi sebaliknya bisa menjadi ranah aktualisasi pelanggaran oleh oknum-oknum bermental korup. Dalam banyak kajian, salah satu variabel yang membuat korupsi sulit dieliminasi dari institusi negara, karena adanya semacam eskapisme institusi hukum yang bertanggung jawab untuk menindak perilaku korupsi, sehingga korupsi justru terus melembaga sistemik (Canetti, 1984). Keberhasilan Djoko menembus barikade institusi hukum sejauh ini sejatinya memperlihatkan suatu mata rantai tindakan kulminatif melawan eliminasi korupsi, yang jika tidak segera dipotong mata rantai tersebut, bisa berimplikasi pada modal sosial bangsa. Kita tahu, korupsi adalah patologi bangsa, yang dalam proses hukumnya bisa memperhadapkan negara dan rakyat. Kenapa? Karena secara teoritis, kasus rasuah erat kaitannya dengan tingkat reseptivitas atau kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan (Ackerman, 1978). Korupsi merupakan skandal yang menggerogoti kemampuan fiskal negara untuk mendistribusikan kue kesejahteraan kepada masyarakat. Secara konstitusional, institusi hukum berperan menjamin pasar tumbuh dalam keadilan sosial serta memberikan ruang yang demokratis bagi setiap warga untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di dalam relasi sosial-ekonomi-nya (Stiglitz, 2002). Dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kakayaan penduduk, sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Ini menunjukkan kue pembangunan selama ini hanya dimakan sekelompok orang kaya. Ketika laju intensitas korupsi tak direm, jaminan konstitusional negara akan rapuh. Alokasi anggaran hanya mengalir ke segelintir masyarakat dan program pemerintah semakin sulit diakses oleh rakyat biasa. Pada titik inilah garis kontinum negatif antara rakyat dan negara, bisa terbentuk. Hirarki birokrasi dalam negara modern mestinya ada untuk mengatur, mengawasi perilaku korupsi secara berlapis-lapis (
policing from the inside) melalui sistem birokrasi yang hierarkis. Namun kenyataannya, justru di level birokrasi hukum itu sendiri terjadi fragmentasi kepentingan yang secara tidak langsung melebur ke dalam hasrat dan tujuan korupsi pada individu/kelompok tertentu. Inilah yang menjadi awal dari terjadinya proses pembusukan institusi birokrasi (hukum). Menurut Celia Moore (2009) pembusukan (korupsi) dalam institusi terjadi karena adanya apa yang disebut sebagai moralisasi korupsi sebuah pembiaran penyimpangan yang kemudian berproses terus-menerus, mulai dari level individu sampai kemudian melembaga secara struktural dan sistemik karena adanya
corrosion (pengkaratan, pengeroposan), sehingga jaringan-jaringan struktural dalam sebuah lembaga menjadi rusak, cacat, tidak berfungsi. Di negara-negara tertentu, pembusukan itu mungkin hanya bersumber dari satu dan dua faktor, dan untuk kasus ini bisa diatasi relatif lebih mudah, meskipun membutuhkan kesabaran masif. Tapi bagaimana jika sumber kebusukan sudah banyak, masif, menyerang garda terdepan dalam penegakan hukum antikorupsi? Ia berpeluang akan merusak keseluruhan fungsi negara tersebut terutama di dalam pelayanan publik dan jaminan keadilan dalam mengakses hasil-hasil pembangunan. Itulah sebabnya persoalan korupsi tidak bisa dipecahkan secara jargonistik. Ia harus menjadi narasi perlawanan solid di dalam sistem negara dengan memiliki tradisi akuntabilitas publik yang kuat serta selalu membuka ruang bagi partisipasi kontrol publik. Negara seujung kuku pun tak boleh kalah menghadapi korupsi. Djoko Tjandra harus segera ditangkap, termasuk jaringan mafia yang bermain melindunginya. Skandal ini menjadi momentum terutama bagi institusi hukum untuk mereformasi diri lebih radikal, lebih tertib, profesional dan determinatif di dalam membangun koordinasi termasuk membangun pengawasan internal secara efektif dan kontinu saat mengawal kasus-kasus korupsi besar. Ini penting mengingat pola kerja korupsi makin sistemik, dengan aliansi perlawan terhadap sistem antikorupsi yang solid dan masif.
Gaung reformasi birokrasi harus benar-benar menjadi internalisasi spirit kolektif terutama di dalam institusi hukum, dalam rangka membangun ruang sterilisasi dari praktik korupsi, termasuk intensi melindungi praktik buruk dimaksud. Tanpa spirit tersebut, negara makin kesulitan menghadapi kekuatan reproduksi korupsi. Djoko Tjandara dan buron-buron koruptor lain harus dikejar dan ditangkap sebagai bukti bahwa negara tidak takluk oleh koruptor. Termasuk mengungkap aktor-aktor yang membekingi Joker, agar negara tidak terus dijadikan sarang kejahatan mereka. Penulis : Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti