Negosiasi Berlangsung, Bandara Thailand Masih Ditutup



BANGKOK. Memasuki hari keempat, bandar udara internasional Thailand masih tetap lumpuh. Saat ini, pihak kepolisian Thailand masih melakukan negosiasi dengan ribuan demonstran anti pemerintah setelah pemerintah memerintahkan untuk membubarkan secara paksa para demonstran.

Selain itu, kemarin, pemerintah juga mendeklarasikan keadaan darurat di bandara Suvarnabhumi dan Don Mueang Bangkok. Itu artinya, pemerintah memberikan kekuasaan kepada pihak kepolisian untuk membubarkan aksi demonstrasi dengan beckingan pihak militer.

“Saat ini, negosiasi masih terus berlangsung, jadi bandara Suvarnabhumi akan tetap ditutup hingga 6 sore besok,” jelas Serirat Prasutanond, acting president Airports of Thailand.


“Situasi darurat bertujuan agar pihak berwenang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Keamanan harus ditegakkan untuk melindungi kelompok mayoritas. Sekali lagi, kondisi darurat ini tidak bertujuan untuk melukai siapapun. Saya berharap, para demonstran membubarkan diri dari airport,” jelas Perdana Menteri Somchai Wongsawat, kemarin.

Hanya saja, sepertinya harapan Wongsawat itu bakalan sia-sia. Pasalnya, jika pemerintah memaksa para demonstran membubarkan diri, mereka berjanji untuk kembali berkumpul dan akan kembali menduduki bandara. “Kami tidak akan mengakhiri hal ini hingga perdana menteri mengundurkan diri. Dia harus mengundurkan diri dan kami akan menghentikan aksi protes di semua lokasi. Kami berharap, hal ini dapat terlaksana hari ini,” jelas pemimpin Partai Aliansi Masyarakat untuk Demokrasi Chamlong Srimuang.

Penutupan bandara airport Thailand tersebut diprediksi akan merugikan perekonomian Thailand. Menurut Menteri Keuangan Thailand Suchart Thadathamrongvej, kerugian yang ditaksir atas aksi itu mencapai 100 miliar baht atau US$ 2,8 miliar pada kuartal ini. Padahal, perekonomian Negeri Gajah Putih itu sudah melambat akibat dampak dari resesi global.

“Aksi protes ini menurunkan tingkat kepercayaan, investasi, dan industri pariwisata,” kata Suchart.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie