Nelayan butuhkan dukungan & perlindungan penguasa



"Duduk di pantai tanah yang permai. Tempat gelombang pecah berderai. Berbuih putih di pasir terderai. Tampaklah pulau di lautan hijau. Gunung-gunung bagus rupanya. Di lingkari air mulia tampaknya." Begitulah penggalan puisi Muhammad Yamin,  Indonesia Tumpah Darahku.

Puisi itu menggambarkan Indonesia sebagai negara kepulauan nan damai dan bersahabat. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km². Terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km² dan zona ekonomi eksklusif mencapai 2,7 juta km².

Namun kenyataanya wilayah laut yang luas dan historis Indonesia sebagai negara maritim kini hanyalah ironi. Bagaimana tidak, meski tiga perempat wilayah kita adalah lautan, hingga saat ini Indonesia belum bisa mengoptimalkan potensi ekonomi nasional dari sektor kelautan.Padahal dalam hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi ekonomi laut Indonesia sekitar US$ 1,2 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 10 kali belanja pemerintah di APBN 2012.


Masih terbengkalainya sektor kelautan ini berbanding lurus dengan kondisi nelayan kita yang hingga kini banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Akibatnya jumlah nelayan terus menyusut dari tahun ke tahun.Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir jumlah nelayan berkurang 25%. Sekarang, jumlah nelayan tangkap tinggal 2,2 juta kepala keluarga.

Nelayan kita tidak cuma hidup miskin. Setiap hari mereka harus menghadapi risiko yang tinggi saat melaut. Dengan peralatan ala kadarnya, tidak ada jaminan keselamatan saat melaut.

Peralatan minim ini membuat mereka kesulitan menangkap ikan di pinggiran. Kalau berani sedikit nekat untuk menembus beberapa mil ke tengah, mereka sering nyasar ke wilayah negara tetangga akibat kapal tidak dilengkapi alat global positioning system (GPS). Terutama saat perahu yang mereka pakai tertiup oleh badai. Tak jarang, mereka ditangkap oleh aparat keamanan negara tetangga karena dituding sebagai pencuri ikan.

Seperti yang dialami oleh enam nelayan asal Batubara Sumatra Utara, yakni Awaludin (38), Hermansyah (19), Herman (18), Amri (20), Adi (20), dan Hendra (35). Mereka sempat ditahan selama 24 hari oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia Daerah Maritim 2 Penang sejak 19 Maret 2013.

Awaludin menceritakan, ia ditangkap karena memasuki wilayah Pulau Kendi yang masuk wilayah Malaysia saat kapal ikannya rusak. "Kami tidak tahu tapal batas antara Indonesia dan Malaysia karena tak punya GPS," tuturnya di Medan, pekan lalu.

Syahrin Abdurrahman, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan KKP mengakui masih banyak nelayan lain yang nasibnya sama seperti Awaludin. KKP mencatat selama 2011 hingga awal April 2013, telah memulangkan 340 nelayan yang nyasar ke negara lain. "Masih ada 33 yang belum bebas karena masih dalam proses hukum," ungkapnya.Kini KKP berupaya agar kejadian ini tidak terus berulang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan peralatan navigasi GPS pada nelayan.

Anton Sihombing, Anggota Komisi IV DPR pun memberi dukungan kepada KKP dan berjanji untuk mendorong pemerintah agar memberikan prioritas bantuan kepada nelayan seperti memberikan kapal dan alat GPS.

Dukungan pendanaan kepada nelayan ini sekaligus untuk mempertahankan jati diri Indonesia sebagai negara maritim. Agar generasi muda seperti Fauzan (8), anak Awaludin, tetap bangga untuk mewarisi jalan hidup ayahnya sebagai seorang yang hidup dari laut.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan