KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nelayan tradisional khawatir terkait kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023. Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP 11/2023, nelayan kecil atau nelayan tradisional memiliki hak untuk menangkap ikan di semua zona, khususnya Daerah Penangkapan Ikan di atas 12 mil laut. Namun, aturan tersebut justru dipandang membawa sejumlah kekhawatiran bagi nelayan tradisional, karena menciptakan persinggungan wilayah penangkapan ikan dengan kapal perikanan besar.
Baca Juga: Nelayan Mengeluhkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, Ini Poinnya Ketua Umum Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menyampaikan, zona-zona tangkapan nelayan tradisional sudah dikuasai oleh kapal perikanan besar yang mendapatkan kuota penangkapan ikan sebagaimana yang diatur dalam PP 11/2023. Sehingga, kapal perikanan besar milik para pemodal kini bisa saja menangkap ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional. “Karena para pemodal besar merasa itu adalah wilayah dimana pemerintah sudah memberikan zona itu untuk dimanfaatkan, ya berdasarkan pemberian kuota,” ujar Dani kepada Kontan.co.id, Kamis (19/10). Dani mengungkap, telah ditemui rumpon atau rumah ikan di kawasan zona di atas 12 mil laut yang dimiliki kapal perikanan besar untuk mengoptimalkan penangkapan mereka. Hal itu sebagaimana laporan-laporan yang ia temui dari anggota KNTI Aceh dan Maluku Utara. “Pemodal besar menanam rumpon atau mengoperasikan kapal perikanan besar di wilayah itu, ya enggak kebagian ikan-ikan yang akan kita diambil, dinikmati para pemodal-pemodal besar. Sementara nelayan kecil yang sudah mengalami kesulitan berada pada kondisi yang miskin, makin sulit lagi,” ujar Dani. Karenanya, Dani menyebut PP 11/2023 akan berdampak pada terciptanya komersialisasi perikanan melalui pemberian kuota bagi pemodal besar, dengan cara mendapatkan akses atau kontrol penuh terhadap wilayah laut atau penangkapan ikan berdasarkan izin dari pemerintah. Dani menambahkan, PP 11/2023 juga menimbulkan ketidakpastian hukum terkait pungutan perikanan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk nelayan kecil atau tradisional.
Baca Juga: Perikanan Indonesia Targetkan Ekspor ke China US$ 28 Juta di Tahun 2024 Nelayan kecil dibebaskan dari pungutan-pungutan hasil perikanan berdasarkan yang termaktub di Pasal 13 ayat (2) UU 11/2023. Adapun dalam UU Nomor 7 tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, kategori nelayan kecil merupakan nelayan dengan kapal paling besar 10 GT. Namun, Dani mengatakan, mengacu pada PP 11/2023, nelayan kecil dikategorikan sebagai nelayan dengan kapal 5 GT ke bawah. Sehingga, kapal dengan 6 GT ke atas akan dikenai kewajiban untuk membayar PNBP 5% dari total hasil tangkapan mereka. “Dengan aturan ini justru menghambat usaha-usaha perikanan untuk bisa mendapatkan atau mengoptimalkan ya manfaat dari laut kita,” kata Dani.
Meskipun nelayan kecil atau tradisional bisa mendapatkan kuota penangkapan ikan melalui kelembagaan koperasi, Dani merasa pelaksanaan dari kebijakan ini masih perlu persiapan. Dia mengimbau, pemerintah seharusnya bisa mempersiapkan kooperasi-kooperasi perikanan dengan akses permodalan yang juga cukup. “Apalagi di dalam PP ini pemerintah mengizinkan investasi asing untuk masuk, entah bentuknya kapal asing atau modal asing yang ditanamkan untuk perusahaan-perusahaan lokal untuk menangkap ikan atau mendapatkan kuota di zona-zona yang sudah ditentukan,” ucapnya. Dani berharap, ke depan wilayah tangkap nelayan kecil dapat dilindungi. Serta, dapat disterilkan dari aktivitas-aktivitas penangkapan ikan yang merusak, termasuk juga di dalamnya kapal-kapal besar yang harusnya bisa menangkap di Zona Ekonomi Eksklusif, bukan di wilayah tangkap nelayan tradisional. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi