JAKARTA. Masa keemasan neraca dagang yang surplus pada tiga bulan terakhir 2013 tampaknya tidak akan terulang lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Januari 2014 kembali defisit sebesar US$ 430,6 juta.Defisit Januari yang lumayan lebar ini meleset dari perkiraan. Melirik lebih dalam, defisit yang terjadi di awal tahun ini diakibatkan kinerja ekspor yang loyo. Ekspor tercatat US$ 14,48 miliar atau turun 5,79% dibanding periode sama tahun lalu.Sedangkan impornya tercatat US$ 14,92 miliar, turun 3,46% dibanding Januari 2013. Nah, penurunan ekspor tersebut salah satunya disebabkan pemberlakuan Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah atawa ore per 12 Januari kemarin.Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto berpendapat, jika neraca perdagangan bisa dijaga surplusnya, maka ada sentimen positif untuk rupiah. Rupiah bisa bergerak di kisaran 11.500-11.600 per dollar AS. Namun, kalau neraca dagang terus defisit, maka rupiah bisa tergelincir lagi ke kisaran 11.700.Maka dari itu, ekspor produk manufaktur harus digenjot. "Jangan sia-siakan perbaikan ekonomi AS dan Eropa," tutur Ryan. Selain itu, menurut Ryan, pemerintah pun harus bisa sediakan bahan baku dan penolong dari dalam negeri agar impor tidak terus melonjak.Di lain pihak, Ekonom Senior PT Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra melihat pasar masih akan melihat seberapa jauh dampak pelarangan ekspor ore pada data neraca dagang Februari nanti. Sebab data ekspor ore Januari belum penuh karena pemberlakuannya baru dilakukan 12 Januari.Kalau ternyata di Februari ekspor ore turun drastis dan neraca dagang masih minus, kemungkinan rupiah akan melemah di 11.800. Namun begitu, Aldian melihat defisit Januari terjadi lebih dikarenakan faktor musiman. Awal tahun terdapat masalah kontrak dan ke depannya kinerja neraca dagang akan lebih stabil. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Neraca dagang defisit, hati-hati rupiah loyo lagi
JAKARTA. Masa keemasan neraca dagang yang surplus pada tiga bulan terakhir 2013 tampaknya tidak akan terulang lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Januari 2014 kembali defisit sebesar US$ 430,6 juta.Defisit Januari yang lumayan lebar ini meleset dari perkiraan. Melirik lebih dalam, defisit yang terjadi di awal tahun ini diakibatkan kinerja ekspor yang loyo. Ekspor tercatat US$ 14,48 miliar atau turun 5,79% dibanding periode sama tahun lalu.Sedangkan impornya tercatat US$ 14,92 miliar, turun 3,46% dibanding Januari 2013. Nah, penurunan ekspor tersebut salah satunya disebabkan pemberlakuan Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah atawa ore per 12 Januari kemarin.Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto berpendapat, jika neraca perdagangan bisa dijaga surplusnya, maka ada sentimen positif untuk rupiah. Rupiah bisa bergerak di kisaran 11.500-11.600 per dollar AS. Namun, kalau neraca dagang terus defisit, maka rupiah bisa tergelincir lagi ke kisaran 11.700.Maka dari itu, ekspor produk manufaktur harus digenjot. "Jangan sia-siakan perbaikan ekonomi AS dan Eropa," tutur Ryan. Selain itu, menurut Ryan, pemerintah pun harus bisa sediakan bahan baku dan penolong dari dalam negeri agar impor tidak terus melonjak.Di lain pihak, Ekonom Senior PT Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra melihat pasar masih akan melihat seberapa jauh dampak pelarangan ekspor ore pada data neraca dagang Februari nanti. Sebab data ekspor ore Januari belum penuh karena pemberlakuannya baru dilakukan 12 Januari.Kalau ternyata di Februari ekspor ore turun drastis dan neraca dagang masih minus, kemungkinan rupiah akan melemah di 11.800. Namun begitu, Aldian melihat defisit Januari terjadi lebih dikarenakan faktor musiman. Awal tahun terdapat masalah kontrak dan ke depannya kinerja neraca dagang akan lebih stabil. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News