Neraca dagang Indonesia masih rentan



PANGKALPINANG. Tantangan fundamental neraca dagang untuk bisa pulih menuju surplus yang berkelanjutan masih harus menunggu. Meskipun pemerintah dalam hal ini sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 2.000 per liter, namun tidak mudah menekan impor BBM.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan, neraca migas masih akan tetap defisit meskipun pemerintah telah menaikkan harga BBM. Hal ini disebabkan konsumsi masyarakat lebih besar daripada produksi BBM dalam negeri.

Dirinya menjelaskan, konsumsi masyarakat setiap harinya mencapai 1,6 juta barel sedangkan produksi hanya 800 juta barel per hari. Maka dari itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih diperlukan impor.


Hanya saja, diakui Halim, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi diharapkan defisit yang terjadi menjadi lebih rasional. "Karena harganya sudah bukan lagi harga yang bisa memicu konsumsi yang berlebihan," ujarnya kepada KONTAN di Pangkalpinang pekan lalu.

Dari sisi non migas, BI melihat ada perbaikan ekspor non migas seiring dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat (AS). Ekonomi Amerika yang berhasil tumbuh 3,9% pada triwulan III 2014 menjadi tanda pemulihan negeri adi kuasa yang lebih cepat.

Ekspor produk manufaktur Indonesia yang berasal dari wilayah Jawa akan mengalami peningkatan. Harga komoditas masih lesu sehingga tidak bisa mengharapkan ekspor komoditas.

Meskipun ekspor manufaktur mengalami kenaikan, Halim menjelaskan kenaikannya tidak akan cepat. Maka dari itu, surplus neraca non migas perbaikannya tidak akan secepat yang BI inginkan. "Keseluruhan defisit transaksi berjalan kita gabungan migas dan non migas mungkin masih akan defisit," tandasnya.

Namun, BI masih berharap neraca dagang pada bulan Desember akan mengalami surplus yang signifikan sebagai dampak kenaikan harga BBM pada bulan November. Sehingga pada akhir tahun defisit transaksi berjalan bisa sedikit di bawah 3% dari PDB, sesuai dengan perkiraan BI. Sekedar gambaran saja, defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2014 sebesar US$ 6,84 miliar atau 3,07% dari PDB.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, defisit migas memang sulit untuk berubah meskipun telah terjadi kenaikan harga BBM. Pasalnya, belum ada alternatif transportasi publik yang memadai.

Misalnya saja mass rapid system (MRT) yang dibangun di ibukota Jakarta. Kendaraan publik tersebut baru bisa dinikmati pada tahun 2018. Yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah mempercepat dan memperbaiki transportasi publik yang ada, misalnya Transjakarta.

Dari sisi non migas, menurut Lana, yang perlu dilakukan adalah menggenjot lebih dalam lagi ekspor ke Amerika. Pasar Amerika baru 12% dari total ekspor non migas Indonesia. "Pasarnya perlu diperbesar. Amerika sedang pulih. Buka pelanggan baru di sana," terang Lana.

Hingga akhir tahun, Lana memperkirakan defisit transaksi berjalan masih berada pada level 3%-3,1% dari PDB.

Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko menilai, efek kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, baru bisa dilihat efeknya dalam jangka waktu 3-6 bulan ke depan.

Kalau dalam jangka waktu tersebut, fiskal dan transaksi berjalan membaik maka reformasi kebijakan pemerintah berjalan. Menurut Prasetyantoko, jika dalam kurun waktu itu konsumsi BBM tidak meledak, maka impor migas bisa ditekan. "Jika bisa ditekan maka beban ke neraca dagang akan lebih rileks," paparnya.

Namun, untuk bisa mengarahkan defisit transaksi berjalan ke level yang sehat di bawah 2,5% dari PDB, Prasetyantoko mengaku butuh waktu lama kurang lebih tiga tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie