Neraca dagang surplus bantu penguatan rupiah



JAKARTA. Kabar baik datang dari aktivitas ekspor impor neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia untuk ketiga kalinya mengalami surplus di tahun 2013 sebesar US$ 42,4 juta. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor di Oktober 2013 mencapai US$ 15,72 miliar. Jumlah ini naik 6,87% dibanding bulan sebelumnya yang mencapai US$ 14,71 miliar. BPS juga mencatat, nilai impor pada Oktober 2013 mencapai US$ 15,67 miliar. Nilai ini juga naik 1,06% dibanding bulan sebelumnya.

Namun, jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2012, nilai impor pada Oktober tahun ini turun 8,9%. Pada Oktober 2012, nilai impor mencapai US$ 17,21 miliar. Besarnya nilai ekspor ketimbang impor di bulan Oktober 2013 itu, membuat neraca dagang Indonesia surplus sebesar US$ 42,4 juta. Ini merupakan surplus ketiga yang terjadi di sepanjang tahun ini, setelah pada Maret dan Agustus.

Salah satu faktor yang juga turut membuat neraca dagang di bulan Oktober 2013 surplus adalah turunnya nilai impor migas secara signifikan.


BPS mencatat, impor migas pada Oktober 2013 sebesar US$ 3,47 miliar atau turun 6,51% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 3,72 miliar.

Penurunan impor migas itu juga diikuti oleh turunnya impor bahan bakar minyak (BBM) premium. Nilai impor BBM premium turun 9,05% menjadi US$ 1,07 miliar di Oktober 2013. Sebelumnya pada September nilai impornya mencapai US$ 1,18 miliar. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, kebijakan pemerintah menerapkan bahan bakar nabati (BBN) biodiesel 10% dalam pencampuran biosolar telah berjalan efektif, sehingga nilai impor migas pun mengalami penurunan.

Potensi surplus lagi

Bahkan, dalam periode dua bulan terakhir 2013 ini pun ada potensi kembali terjadi surplus. Rupiah yang melemah menjadi stimulus positif bagi peningkatan nilai ekspor dan penurunan impor. Menurut Sasmito, pada akhir tahun biasanya dua sisi baik ekspor dan impor cenderung mengalami kenaikan. Di November ada potensi surplus.

"Namun nanti yang agak seimbang mungkin di Desember karena impor kita agak banyak," ujar Sasmito, Senin (2/12). Meskipun diperkirakan surplus, namun defisit neraca dagang secara total hingga akhir tahun akan tetap berada di kisaran US$ 6,36 miliar.

Tidak mudah, memang, mengurangi defisit dalam jumlah besar, karena surplus pun tidak akan signifikan.

Asal Anda tahu, dari Januari hingga Oktober 2013 total defisit mencapai US$ 6,36 miliar. Untuk sisi ekspor sendiri, peningkatan terjadi bukan hanya karena nilai impor yang meningkat namun juga karena harga komoditas sejumlah barang ekspor yang memang sudah mengalami kenaikan. Misalnya, kopra dan palm oil. Menteri Keuangan Chatib Basri optimistis, surplusnya neraca dagang ini bisa terus dijaga. Hal ini sejalan dengan segera keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) soal kebijakan kenaikan tarif pasal penghasilan (PPh) pasal 22 bagi para importir.

Selain itu, pemerintah juga akan merilis kebijakan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) yang akan membantu menguatkan kondisi neraca dagang. Menurut Chatib, ekspor yang meningkat terjadi karena pelemahan rupiah serta perbaikan ekonomi AS yang mulai terlihat.

"Kalau data ekonomi ini terus membaik, akan berikan pengaruh ke nilai tukar rupiah kita," papar Chatib.

Pengaruh surplus terhadap rupiah

Kepala Ekonom Mandiri Destry Damayanti berpendapat, pengaruh surplusnya neraca dagang terhadap penguatan rupiah masih kecil. Memang akan menjadi sentimen positif, namun pemerintah harus lebih aktif menekan impor migas. Apalagi yang mengalami penurunan signifikan hanya impor gas. "Sementara impor minyak mentah masih tinggi," tandas Destry. Impor minyak yang mengalami penurunan ini, menurut Destry, adalah hasil dari pengetatan BI dengan menaikkan BI rate. Sedangkan dari sisi pemerintahnya belum kelihatan. Maka dari itu, mandatory biodiesel harus bisa ditingkatkan menjadi 30%-50%. Sedangkan nilai tukar rupiah hingga akhir tahun akan berada di kisaran Rp 11.300-Rp 11.700 per US$.

Sementara itu, Ekonom Bank BII Maybank Umar Juoro berpendapat, kabar baik neraca dagang ini belum akan memberikan penguatan terhadap nilai tukar rupiah.

Kalau defisit transaksi berjalan sudah di bawah 3,5% dari PDB baru rupiah akan menguat secara jangka panjang. Maka dari itu, Kepala Ekonom Bank CIMB Niaga Winang Budoyo pun menegaskan pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakannya.

Selama ini hanya BI yang lebih banyak menelorkan kebijakan dengan melakukan pengetatan. "Sementara pemerintah kurang," tukas Winang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan