Neraca perdagangan April defisit US$ 641 juta



JAKARTA. Lampu kuning perdagangan luar negeri mulai menyala. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bulan April 2012 lalu, neraca perdagangan kita defisit US$ 641 juta. Defisit ini merupakan kali pertama, sejak krisis ekonomi 4 tahun silam.

Berdasarkan catatan Direktur Statistik Distribusi BPS Satwiko Darmesto, Indonesia pernah mengalami defisit perdagangan beberapa kali, yaitu pada April 2008 sebesar US$ 724,9 juta dan Juli 2008 sebesar US$ 342 juta.

Menurut BPS, pertumbuhan ekspor sepanjang Januari -April 2012 hanya naik sebesar 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara laju pertumbuhan impor melonjak hingga 16,2%.


Bahkan, ekspor pada bulan April 2012 mengalami kemerosotan hingga 7% ketimbang Maret 2012. Kondisi inilah yang menyebabkan neraca perdagangan kita mengalami defisit untuk pertama kalinya.

Kepala BPS Suryamin menjelaskan, penyebab defisit neraca perdagangan pada April 2012 lantaran impor bahan bakar minyak (BBM), terutama hasil minyak yang tinggi. Selain itu, impor barang modal dan bahan baku juga mengalami kenaikan yang cukup besar. Tiga negara pemasok utama barang impor ke Indonesia adalah Jepang, China, Thailand dan Amerika Serikat.

Kendalikan impor

Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengakui, defisit neraca perdagangan ini terjadi sebagai imbas melemahnya kinerja ekspor Indonesia seiring dengan perlambatan ekonomi dunia. Sisi lain, Indonesia belum bisa mengendalikan laju impor sehingga neraca perdagangan negatif.

Untuk mengantisipasi defisit neraca perdagangan agar tidak berlanjut, Bambang bilang, perlu ada pengendalian di sisi impor. "Kuncinya adalah bagaimana kita mengendalikan impor. Kalau ingin membatasi impor, kita harus memastikan agar produksi di dalam negeri cukup untuk keperluan di dalam negeri," jelas Bambang.

Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, kondisi defisit neraca perdagangan di Indonesia ini terjadi lantaran struktur industri di dalam negeri yang membutuhkan suplai barang modal dan bahan baku dari luar. "Industri kita tak banyak yang menghasilkan barang modal dan barang baku, perlu waktu untuk mengubahnya," terang Darmin saat rapat kerja di Komisi XI DPR, Kamis lalu (31/5).

Tapi, Darmin optimistis, melemahnya ekspor Indonesia tidak akan menyebabkan Indonesia terjebak dalam krisis. Sebab, porsi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tak sebesar konsumsi rumah tangga dan investasi. "Peran ekspor kita tak seperti di negara lain," imbuh Darmin.

Revrisond Baswir, ekonom UGM juga menyoroti barang impor yang masuk ke Indonesia bukan cuma barang modal dan bahan baku, melainkan barang jadi. "Indonesia terlalu tergantung kepada produk luar, seharusnya bisa mengelola pasar di dalam negeri," katanya.

Nah, pada saat krisis seperti ini, Indonesia akan menjadi sasaran untuk menjajakan produk dari negara lain. "Kita hanya bisa berharap pemerintah bisa mengelola masalah di internal, agar pasar domestik kita tidak menjadi serbuan produk asing," katanya.

Revrisond juga mengkritik kebijakan pemerintah yang membuka pasar di dalam negeri secara liberal selama ini. Ia mengatakan, yang masuk ke Indonesia bukan cuma produk dengan teknologi tinggi, tapi produk seperti garam dan gula pun harus impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can