Neraca perdagangan surplus, membuat pajak impor loyo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir bulan lalu Neraca perdagangan Indonesia (NPI) masih mancatatkan surplus. Namun, hal tersebut berdampak negatif terhadap pajak atas perdagangan impor yang tepaut lesu.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Juli 2020 kembali tercatat surplus US$ 3,26 miliar, menjadikan NPI surplus dalam tiga bulan berturut-turut sejak bulan Mei 2020.

Surplusnya NPI disebabkan tingginya surplus pada neraca nonmigas, meskipun disaat yang sama neraca migas mengalami peningkatan defisit, terutama peningkatan impor BBM dampak kenaikan demand pasca pelonggaran PSBB.


Baca Juga: Ekonom IKS: Cadangan devisa Agustus 2020 bisa meningkat hingga US$ 137 miliar

Kinerja ekspor bulan Juli 2020 meningkat 14,33% mtm, didorong ekspor nonmigas terutama logam mulia dasar yang harga globalnya meningkat signifikan.

 Dari sisi impor, terjadi pelemahan impor secara bulanan maupun tahunan, dampak tertekannya impor nonmigas terutama impor besi/ baja dasar dan barang-barang keperluan otomotif.

Pelemahan impor ini yang terjadi sepanjang tahun 2020, sehingga perlu menjadi perhatian mengingat importasi atas besi/baja menjadi proxy atas kegiatan investasi domestik.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi atas penerimaan pajak dalam rangka impor (PDRI) lainnya yang pemungutannya dilakukan oleh DJBC, per 31 Juli 2020 mencapai Rp104,17 triliun atau kontraksi 21,27% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.

Adapun, penerimaan kepabeanan dan cukai, yang terdiri dari Bea Masuk (BM), Bea Keluar (BK) dan Cukai, pada awal tahun 2020 masih dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal.

Berdasarkan kajian Kemenkeu dalam laporan APBN Juli 2020, kenaikan aktivitas ekspor terjadi di bulan Juli 2020, meskipun secara kumulatif kegiatan ekspor impor masih berada di zona negatif terdampak melemahnya permintaan global, hingga meluasnya efek pandemi virus corona.

Baca Juga: Sri Mulyani sebut tren kinerja ekspor impor pada Juli 2020 masih negatif

Faktor internal, seperti kebijakan pembatasan ekspor nikel yang diterapkan sejak akhir tahun 2019, berdampak pada penurunan penerimaan BK. Belum pulihnya kondisi industri domestik maupun global yang terindikasi dari indeks PMI manufaktur, mempengaruhi penerimaan BM. Sedangkan penerimaan cukai terdorong oleh kebijakan penyesuaian tarif cukai.

Penerimaan BM hingga akhir Juli 2020 adalah Rp 19,04 triliun atau 59,80% dari target pada Perpres 72 atau melambat 7,97%yoy. Kinerja penerimaan BM mengalami tekanan sejak awal tahun, hal ini terlihat dari aktivitas impor barang yang masih melambat hingga 32,56% yoy. Alhasil, penerimaan BM pun mengalami pertumbuhan negatif mencapai 7,97% yoy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto