JAKARTA. Inflasi yang terus memuncak ibarat musuh yang bisa menggerogoti nilai aset di kemudian hari. Lantaran tak ingin aset yang disiapkan untuk masa depan tergerus, Nicky Hogan, Presiden Direktur PT Reliance Securities Tbk pun sudah memupuk pengetahuan terkait produk dan cara berinvestasi sejak masa masa mudanya.Awalnya, sejak punya penghasilan sendiri, pria kelahiran Sambas, 46 tahun silam ini hanya berinvestasi dalam bentuk tabungan. Lama-kelamaan, ia aktif berinvestasi di saham.Perkenalannya dengan saham dimulai, saat ia bekerja di bidang pasar modal pada 1998. Di masa itu, pasar modal memang tengah goyah akibat krisis moneter. Harga saham berguguran. Namun, Nicky menangkap peluang di tengah anjloknya pasar modal Indonesia. "Saham-saham yang berfundamental baik ikut jatuh. Di situ, saya justru melihat peluang untuk berinvestasi," kenangnya.Sejak awal, ia adalah tipe investor yang konservatif, cenderung moderat, dan memantapkan tujuan berinvestasi untuk jangka panjang. Makanya, Nicky yakin, saat pasar modal rontok akibat krisis, akan selalu ada momen perbaikan di masa yang akan datang.Dalam memilih saham, Nicky hanya mempercayakan asetnya di saham-saham berfundamental baik. Menurutnya, saham berfundamental baik itu tak harus saham kategori blue chips. Saham lapis dua alias second liner pun banyak yang memiliki prospek menarik. Lantaran prinsip jangka panjang itulah, Nicky tidak ingin banyak berspekulasi. Baginya, yang terpenting melindungi nilai aset. Adapun, return tinggi hanya bonus kedua dari berinvestasi. "Saya bukan trader, saya investor jangka panjang. Jadi yang penting aset terlindungi. Nah, kalau karena berinvestasi itu aset kita tumbuh tinggi, anggap saja itu bonus," tuturnya.Namun, berinvestasi tak terlepas dari risiko. Rugi karena salah strategi pernah dialaminya. Misalnya, kerugian saat bermain saham dengan fasilitas pembiayaan (margin). "Kalau untuk investor jangka panjang, bermain saham dengan pembiayaan memang tidak cocok, jadi saat itu sempat loss," kisahnya. Belajar dari pengalaman itu, kini Nicky selalu menggunakan dana sendiri yang memang menganggur untuk diinvestasikan di saham berfundamental baik.Koleksi ORISaham bukan satu-satunya produk investasi pilihan Nicky. Untuk jangka waktu yang lebih pendek, lulusan Universitas Tarumanegara ini mengoleksi produk obligasi negara ritel (ORI) dan sukuk ritel (sukri). Selain lebih likuid, katanya, ORI dan sukri memberikan imbal hasil lebih tinggi dari inflasi. Apalagi, instrumen ini diterbitkan oleh negara, sehingga risikonya pun mini. Biasanya, dalam membeli ORI dan sukri, Nicky lebih senang memegang (hold) hingga jatuh tempo. "Bisa saja dijual sebelum jatuh tempo, tetapi lebih suka menikmati kupon sampai jatuh tempo," ungkapnya.Selain itu, Nicky juga berinvestasi di properti. Ia membeli rumah di kawasan Jakarta khusus untuk disewakan. Meski tak likuid, ia mengklaim, peningkatan nilai aset di properti cukup besar, sehingga menjadi investasi yang prospektif untuk jangka panjang.Lantaran punya bekal pengalaman kerja di bidang pasar modal selama belasan tahun, ayah tiga anak ini pun percaya diri mengelola sendiri asetnya. Secara rutin, ia menyisihkan pendapatan untuk berinvestasi. Nah, dengan pengalaman berinvestasi sejak masa muda itu, Ricky tak segan berbagi ilmu kepada para pemula. Menurutnya, yang perlu dilakukan pemula adalah memupuk sebanyak mungkin pengetahuan tentang produk investasi. Apalagi sekarang banyak produk yang menarik. "Saat berinvestasi, jangan banyak berspekulasi jika masih pemula," sarannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Nicky Hogan: Investasi untuk melindungi aset
JAKARTA. Inflasi yang terus memuncak ibarat musuh yang bisa menggerogoti nilai aset di kemudian hari. Lantaran tak ingin aset yang disiapkan untuk masa depan tergerus, Nicky Hogan, Presiden Direktur PT Reliance Securities Tbk pun sudah memupuk pengetahuan terkait produk dan cara berinvestasi sejak masa masa mudanya.Awalnya, sejak punya penghasilan sendiri, pria kelahiran Sambas, 46 tahun silam ini hanya berinvestasi dalam bentuk tabungan. Lama-kelamaan, ia aktif berinvestasi di saham.Perkenalannya dengan saham dimulai, saat ia bekerja di bidang pasar modal pada 1998. Di masa itu, pasar modal memang tengah goyah akibat krisis moneter. Harga saham berguguran. Namun, Nicky menangkap peluang di tengah anjloknya pasar modal Indonesia. "Saham-saham yang berfundamental baik ikut jatuh. Di situ, saya justru melihat peluang untuk berinvestasi," kenangnya.Sejak awal, ia adalah tipe investor yang konservatif, cenderung moderat, dan memantapkan tujuan berinvestasi untuk jangka panjang. Makanya, Nicky yakin, saat pasar modal rontok akibat krisis, akan selalu ada momen perbaikan di masa yang akan datang.Dalam memilih saham, Nicky hanya mempercayakan asetnya di saham-saham berfundamental baik. Menurutnya, saham berfundamental baik itu tak harus saham kategori blue chips. Saham lapis dua alias second liner pun banyak yang memiliki prospek menarik. Lantaran prinsip jangka panjang itulah, Nicky tidak ingin banyak berspekulasi. Baginya, yang terpenting melindungi nilai aset. Adapun, return tinggi hanya bonus kedua dari berinvestasi. "Saya bukan trader, saya investor jangka panjang. Jadi yang penting aset terlindungi. Nah, kalau karena berinvestasi itu aset kita tumbuh tinggi, anggap saja itu bonus," tuturnya.Namun, berinvestasi tak terlepas dari risiko. Rugi karena salah strategi pernah dialaminya. Misalnya, kerugian saat bermain saham dengan fasilitas pembiayaan (margin). "Kalau untuk investor jangka panjang, bermain saham dengan pembiayaan memang tidak cocok, jadi saat itu sempat loss," kisahnya. Belajar dari pengalaman itu, kini Nicky selalu menggunakan dana sendiri yang memang menganggur untuk diinvestasikan di saham berfundamental baik.Koleksi ORISaham bukan satu-satunya produk investasi pilihan Nicky. Untuk jangka waktu yang lebih pendek, lulusan Universitas Tarumanegara ini mengoleksi produk obligasi negara ritel (ORI) dan sukuk ritel (sukri). Selain lebih likuid, katanya, ORI dan sukri memberikan imbal hasil lebih tinggi dari inflasi. Apalagi, instrumen ini diterbitkan oleh negara, sehingga risikonya pun mini. Biasanya, dalam membeli ORI dan sukri, Nicky lebih senang memegang (hold) hingga jatuh tempo. "Bisa saja dijual sebelum jatuh tempo, tetapi lebih suka menikmati kupon sampai jatuh tempo," ungkapnya.Selain itu, Nicky juga berinvestasi di properti. Ia membeli rumah di kawasan Jakarta khusus untuk disewakan. Meski tak likuid, ia mengklaim, peningkatan nilai aset di properti cukup besar, sehingga menjadi investasi yang prospektif untuk jangka panjang.Lantaran punya bekal pengalaman kerja di bidang pasar modal selama belasan tahun, ayah tiga anak ini pun percaya diri mengelola sendiri asetnya. Secara rutin, ia menyisihkan pendapatan untuk berinvestasi. Nah, dengan pengalaman berinvestasi sejak masa muda itu, Ricky tak segan berbagi ilmu kepada para pemula. Menurutnya, yang perlu dilakukan pemula adalah memupuk sebanyak mungkin pengetahuan tentang produk investasi. Apalagi sekarang banyak produk yang menarik. "Saat berinvestasi, jangan banyak berspekulasi jika masih pemula," sarannya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News