KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah melalui goncangan ekonomi pasca-COVID19,
brand dan para pengiklan masih harus menghadapi tantangan besar lainnya, resesi global. Namun begitu, Nielsen mengungkapkan
marketing atau pemasar seharusnya lebih berfokus pada mitigasi dampak resesi dan memaksimalkan efektivitas anggaran
marketing dengan untuk memasuki masa pemulihan. Dengan 60% ekonom dunia memprediksikan resesi di Eropa, tingkat pertumbuhan global diperkirakan hanya akan mencapai 2,9%, turun dari perkiraan awal 4,6% di awal 2022. Hal ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi tampaknya tidak bisa dihindari Perubahan pola konsumen juga terlihat dari bagaimana mereka menyesuaikan pengeluaran untuk beradaptasi dengan inflasi dan suku bunga yang tinggi, dimana
brand dan pengiklan pun turut mengikuti perilaku ini.
Berdasarkan data Nielsen Ad Intel, pasar periklanan di AS menurun sebesar 7% pada kuartal kedua 2022 dibandingkan waktu yang sama tahun lalu. Penurunan ini menandakan banyak pemasar yang telah atau berencana untuk memotong anggaran belanja iklan mereka.
Baca Juga: Pemain Bola Berpengaruh di Instagram versi Nielsen: Cristiano Ronaldo di Puncak Meskipun penekanan pada anggaran belanja media terlihat seperti strategi yang masuk akal dalam jangka pendek, pemasar seharusnya lebih berfokus pada mitigasi dampak resesi dan memaksimalkan efektivitas anggaran marketing dengan untuk memasuki masa pemulihan. “Pandangan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan angka pertumbuhan yang melambat di seluruh wilayah yang juga diikuti melemahnya mata uang sehingga turut memperburuk perlambatan itu. Secara khusus Wilayah Asia-Pasifik yang saling berhubungan dengan China dan AS, dimana pendekatan bisnis menjadi jauh lebih sensitif dibandingkan beberapa tahun terakhir," kata Abhinav Maheshwari,
Vice President, Marketing Effectiveness, APAC Nielsen dalam keterangan yang diterima Kontan, Kamis (13/10). Ia melanjutkan, dalam situasi seperti ini, umumnya pengeluaran anggaran pemasaran akan lebih diperketat, karena
brand lebih hati-hati dalam melakukan investasi dari sisi taktik dan kampanye pemasaran ke depannya. "Akan tetapi, angka yang ada menunjukkan data yang berbeda. Dalam resesi, ketika
brand berhati-hati dalam alokasi budget, mengandalkan pemasaran yang lebih besar terbukti memiliki dampak langsung dan positif pada penjualan
brand, bahkan dalam kondisi ekonomi yang menantang,” tambah Abhinav. Resesi tidak berlangsung selamanya Meskipun resesi terlihat menyeramkan, namun secara historis, resesi tidak akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Umumnya, 75% resesi akan berakhir dalam setahun dan 30% resesi akan berlangsung dua kuartal. Jadi, setiap pemotongan pengeluaran kemungkinan hanya akan bersifat jangka pendek dan menghasilkan penghematan nominal, sambil menempatkan
brand pada posisi yang kurang menguntungkan menuju periode pemulihan yang kemungkinan akan segera terjadi. Mengingat sebagian besar
brand telah mengurangi belanja, hal ini menekan ROI
brand hingga 50% dan setiap pemotongan anggaran dapat mengurangi ROI lebih jauh, padahal, di saat seperti ini
brand justru perlu memaksimalkan keuntungan lebih banyak. Pemotongan anggaran nyatanya bukan solusi.
Brand perlu mengoptimalkan berbagai strategi media dan berinvestasi pada saluran-saluran yang telah terbukti memiliki kinerja yang baik. Dengan menyeimbangkan strategi dengan baik, maka
brand dapat mengalokasikan anggaran untuk mencapai audiens yang tepat, efisiensi, dan frekuensi. Misalnya, sebuah brand produsen mobil baru-baru ini meningkatkan jangkauannya sebesar 26% dan jumlah tayang lebih dari 39% hanya dengan mengoptimalkan alokasi medianya tanpa menyesuaikan anggarannya. Dan berinvestasi di media selama resesi sebenarnya dapat menghemat uang brand, karena kemunduran industri menciptakan dinamika penawaran dan permintaan yang menguntungkan pembeli iklan dan menurunkan biaya media. Bahkan, beberapa merek justru meningkatkan investasi media mereka dalam resesi.
Baca Juga: Daftar Drama Korea Rating Tertinggi di Minggu Keempat September 2022, Apa Saja? Selain lingkungan biaya media yang menguntungkan, brand juga dapat menemukan pesaing telah mengurangi iklan, yang menciptakan peluang bagi kampanye untuk memiliki dampak yang lebih besar. Abhinav melanjutkan, sebelum mengasumsikan penurunan penjualan karena resesi,
brand harus menilai lanskap dan mengikuti dengan cermat perilaku konsumen untuk perubahan pola pengeluaran. Pergeseran kebiasaan belanja, misalnya, menciptakan peluang untuk pertumbuhan dalam kategori tertentu, seperti pada kosmetik ataupun makanan dan perhotelan. Dan ketika konsumen menjadi lebih sensitif terhadap harga,
brand perlu mengubah rencana media, dan bagaimana brand menyampaikan pesan, agar sesuai dengan perubahan konsumen. Pesan yang ramah akan situasi resesi dapat membantu memperkuat nilai
brand dan membantu memastikan loyalitas konsumen setelah resesi. Brand dan pengiklan yang ingin memaksimalkan potensi pertumbuhan kategori selama resesi harus berfokus pada analisis perilaku konsumen untuk mengoptimalkan pesan dan meningkatkan dampak belanja iklan mereka. Menentukan pemotongan anggaran yang tepat Terkadang pemotongan anggaran tidak bisa dihindari. Jika brand terpaksa harus menyesuaikan anggarannya, pastikan
brand memotong biaya yang tepat, pada alokasi yang tepat, untuk memaksimalkan efektivitas sisa anggaran dan meminimalkan dampak negatif pada ROI
brand. Menarik kembali pembelanjaan media mungkin terlihat sebagai cara yang tepat untuk memotong biaya dan mencapai target keuangan, namun strategi ini memiliki efektivitas yang cukup rendah. Studi Nielsen mengenai rencana media menunjukkan bahwa 25% dari investasi di level saluran justru terlalu tinggi untuk dapat memaksimalkan ROI yang ada. "Dalam kelompok investasi ini, pengeluaran justru lebih besar 32%. Meskipun mengurangi pengeluaran dapat meningkatkan ROI di saluran tersebut, namun angkanya hanya 4% dan
brand juga akan melihat volume penjualan yang berkurang secara signifikan karena penurunan penjualan yang didorong oleh iklan," ujar dia. Beberapa brand mungkin melihat peningkatan promosi. Ketika konsumen mengurangi pembelanjaan sebagai solusi, namun strategi ini memiliki tantangan tersendiri. Promosi yang dilakukan secara rutin akan membentuk pola konsumen yang hanya berbelanja. Ketika ada promosi, yang berdampak pada penurunan penjualan ketika harga barang normal dan menurunkan margin. ROI juga cenderung lebih rendah untuk promosi 45% lebih rendah daripada media, menurut
marketing mix models Nielsen karena hanya sebagian kecil dari penjualan promosi yang benar-benar bertahap, dan penjualan promo harus jauh lebih tinggi untuk menebus margin yang hilang.
Baca Juga: Belanja Iklan Meningkat, Simak Prospek Saham Emiten FMCG Daripada bergantung pada promosi, brand perlu meningkatkan saluran mana yang perlu dikurangi atau dipotong dengan dampak yang minimal pada ROI. Jika hasil di satu saluran tidak memuaskan, akan lebih baik bagi brand untuk menghentikan pengeluaran sepenuhnya pada saluran tersebut dan mengalokasikan kembali pada saluran dengan metrik yang lebih baik dan potensi ROI yang lebih tinggi.
Terlepas dari strategi yang diambil oleh brand, entah itu campuran media atau alokasi anggaran, hal yang perlu diperhatikan adalah pembelanjaan pada anggaran akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Nielsen Marketing Mix Models, brand yang melakukan off-air dapat kehilangan 2% dari pemasukan jangka panjang untuk setiap kuartal, dan ketika
brand tersebut kembali menggunakan strategi media, akan butuh waktu 3 sampai 5 tahun untuk memulihkan kerugian akibat
downtime yang dilakukan. "Dan keuntungan brand bukan hanya komponen yang merugi jika
brand memotong pengeluaran medianya. Data Nielsen menunjukkan bahwa pemasaran menyumbang 10% sampai 35% dari ekuitas
brand," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .