JAKARTA. Setelah sempat naik ke level tertinggi selama sepuluh pekan pada Kamis (4/12) lalu, harga nikel terus merosot. Harga tertekan karena investor berekspektasi rendah terhadap pertumbuhan ekonomi China sebagai konsumen nikel terbesar. Mengutip Bloomberg, Selasa (9/12), pada pukul 12.15 WIB harga nikel kontrak pengiriman Maret 2015 di London Metal Exchange (LME) turun 0,34% dari hari sebelumnya menjadi US$ 16.630 per metrik ton. Namun, sepekan terakhir harga masih tumbuh 1,93%. "Penurunan harga energi dan metal merupakan refleksi rendahnya ekspektasi pertumbuhan China," kata Steven Dooley, Currency Strategist for the Asia Pacific Region, Western Union Business Solutions.
Ibrahim, Analis dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka, memaparkan, ekonomi Tiongkok yang masih resesi memicu pelemahan permintaan nikel. Stimulus dan pemangkasan suku bunga tidak lantas membantu perbaikan ekonomi Tiongkok. Sebab, "Alasan stimulus dan pengurangan suku bunga China adalah karena ada utang pemerintah dan swasta jatuh tempo pada kuartal empat ini sebesar CNY 500 miliar," jelas Ibrahim. Faktor lain, stok nikel di pasar masih menumpuk. Negara-negara produsen, seperti Filipina dan Rusia terus menggenjot ekspor. "Negara-negara tersebut menghabiskan kuota produksi kuartal empat," kata Ibrahim. Di sisi lain, indeks dollar Amerika Serikat terus menguat di level 89. Para pelaku pasar memilih menahan diri dalam menghadapi situasi ini. "Ini tidak diinginkan pasar, harga jadi terlalu mahal," jelas Ibrahim.