Nikmatnya ekspor buah-buah tropis masih kurang terasa



Dalam 10 tahun terakhir, jumlah eksportir buah-buahan tropis di Indonesia terus berkurang. Penyebabnya adalah besarnya biaya operasional yang harus ditanggung para eksportir. Ini menyebabkan harga buah melambung tinggi di pasar ekspor. Buah lokal pun kalah bersaing dengan negara lain. Sebagai negara agraris beriklim tropis, Indonesia merupakan surga bagi para pebisnis buah-buahan. Tak salah, jika buah khas Indonesia sudah terkenal di pasar ekspor sejak 15 tahun lalu. Sayang, seiring berjalannya waktu, jumlah eksportir buah-buahan tropis ini semakin berkurang. Simak saja penuturan John Andreas, pemilik PT Ingtraco, eksportir buah-buahan tropis. Dia bilang, dalam 10 tahun terakhir, jumlah eksportir buah terus menyusut. Jumlah eksportir buah ke Timur Tengah, misalnya, cuma tersisa tiga dari enam perusahaan. Lalu, eksportir buah ke China hanya bertahan empat perusahaan. Begitu pula dengan eksportir buah ke Eropa, hanya tinggal dua pelaku usaha. "Margin keuntungan tidak feasible," imbuh Andreas. Banyak faktor pemicu turunnya jumlah eksportir. Antara lain, besarnya biaya operasional. Misalnya biaya transportasi, yang nilainya bisa 60% dari omzet. "Setiap tahun biaya pesawat bisa mencapai Rp 5 miliar- Rp 6 miliar," imbuh Andreas. Selain itu, biaya sewa gudang juga tinggi. Akibatnya, "Kita kalah bersaing dengan Vietnam dan Thailand, karena di Thailand tidak ada biaya sewa gudang untuk ekspor buah," katanya.

Besarnya biaya kedua komponen itu menyebabkan harga jual buah asal Indonesia di pasar ekspor melambung. Ini membuat buah asal Indonesia kalah bersaing di pasar ekspor. Agar bisa bertahan, kata Andreas, modal yang dimiliki eksportir harus empat kali lipat dari penjualan. Sebab, pembayaran dari pembeli biasanya dilakukan setiap dua bulan sekali. Di sisi lain, eksportir harus membayar biaya transportasi ke maskapai dua pekan sekali.Makanya, saat ini Ingtraco fokus mengekspor tiga jenis buah, yakni mangga, manggis, dan rambutan. Adapun negara tujuan ekspor buah Ingtraco, antara lain, Hong Kong, China, Timur Tengah, dan Eropa.

Andreas mengaku, jumlah eksportir buah ke pasar Eropa tidak terlalu banyak karena ada sertifikat khusus untuk masuk pasar di sana. "Hanya kami yang memiliki sertifikasi," klaim dia.Andreas memperkirakan, ekspornya tahun in tidak akan sebanyak tahun lalu. Tahun lalu, Ingtraco mengekspor ketiga jenis buah itu hingga 500 ton. Tahun ini diperkirakan hanya 200 ton-250 ton. "Panen hanya 40% karena masalah cuaca, mutunya pun jelek," keluh Andreas. Anjloknya ekspor buah lokal diamini Mulyadi Chandra, Staf Pemasaran, Riset dan Pengembangan PT Alamanda Sejati Utama. Hingga kini, permintaan buah di pasar ekspor masih bagus. Namun, jumlah pasokannya terus menurun.Saat ini, Alamanda mengekspor 38 jenis sayur dan 20 jenis buah, jamur dan bunga melati. "Buah yang paling banyak dicari adalah jambu merah biji dan salak, semangka, serta melon," katanya.Negara tujuan ekspornya Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Brunei, China, Korea, Jepang, Uni Emirat Arab, Bangladesh, dan Pakistan. "Kami ada rencana ekspansi ke Eropa dan Amerika Serikat," imbuh Mulyadi.Dalam sebulan, Alamanda bisa mengekspor buah dan sayur mayur sekitar 1.000 metrik ton. Sayangnya Mulyadi enggan membeberkan nilai omzet ekspornya. Alamanda dan Ingtraco mendapatkan pasokan buah dari petani di berbagai daerah, seperti Aceh dan NTB.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi