JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi perihal perusahaan pertambangan yang nilai tambahnya kecil untuk tidak membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, jika nilai tambah perusahaan tambang loncatannya hanya 10% tidak perlu membuat smelter. Tapi sesuai dengan amanat Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara menyatakan perusahaan tambang wajib menggandeng perusahaan lain. "Nanti kebijakan pemerintah apakah distop atau mendirikan smelter lagi, belum ada (usulan), kita mau bicarakan dengan daerah, kita lihat berapa persen lonjakan nilai tambahnya, kalau kecil ya tidak perlu." terangnya di Kantor Dirjen Minerba, Rabu (30/9). Sayangnya, Bambang belum memastikan apakah akan terbit beleid baru terkait dengan hal tersebut. Namun, meskipun nilai tambahnya kecil, kata Bambang, pemerintah tetap tidak memperbolehkan perusahaan tambang melakukan ekspor mineral mentah. "Tetap tidak bisa lah (ekspor mineral mentah), Nanti kita evaluasi. Logikanya kalau loncatannya hanya 10% dari kondisi terakhir, masa disuruh ningkatin sampai 90%. Sedangkan investasi cukup besar (bangun smelter)," urainya. Terkait dengan itu, Kementerian ESDM juga bakal meninjau kembali kapasitas smelter terkait dengan ketersediaan cadangan dan kebutuhan industri dalam negeri. Bambang bilang, ada dua pilihan kapasitas smelter. Pertama, dengan kapasitas sekitar satu banding dua dengan bijihnya, seperti yang terjadi saat ini. Kedua, kapasitas smelter sama dengan jumlah ketersediaan bijih. "Sekarang kita mau pakai yang mana? Ini yang perlu kami pertimbangkan dan ukur," ujarnya Jika kapasitas smelter jauh lebih sedikit dari jumlah bijih yang tersedia, maka Indonesia bisa menjaga jumlah cadangannya untuk waktu yang lebih lama. Lain halnya jika kapasitas smelter sama dengan jumlah bijihnya. Menurut Bambang, hal tersebut akan membuat ketersediaan cadangan sumber daya mineral Indonesia terancam. Padahal, kegiatan eksplorasi masih tergolong rendah. "Timbul pertanyaan lagi, apakah kita akan terus tarik investor untuk bangun smelter atau kita cukup sekian saja karena ingin ketersediaannya lebih lama?" tuturnya. Bambang melanjutkan permasalahan juga muncul terkait sinkronisasi program hilirisasi dengan penyerapan di sektor industri. Menurutnya, perlu dipikirkan juga apakah hasil pemurnian mineral benar-benar digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Oleh karena itu, dia mendorong agar industri dalam negeri terus dikembangkan agar efek berantai dari program hilirisasi benar-benar dirasakan di dalam negeri. "Kuncinya adalah negara ini haru jadi negara industri. Kalau kita buat smelter sebanyak-banyaknya lalu diekspor ya sama saja. barang kita cepat habis, sementara kita gak jadi negara industri," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Nilai tambah kecil, pengusaha tak bikin smelter
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi perihal perusahaan pertambangan yang nilai tambahnya kecil untuk tidak membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, jika nilai tambah perusahaan tambang loncatannya hanya 10% tidak perlu membuat smelter. Tapi sesuai dengan amanat Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara menyatakan perusahaan tambang wajib menggandeng perusahaan lain. "Nanti kebijakan pemerintah apakah distop atau mendirikan smelter lagi, belum ada (usulan), kita mau bicarakan dengan daerah, kita lihat berapa persen lonjakan nilai tambahnya, kalau kecil ya tidak perlu." terangnya di Kantor Dirjen Minerba, Rabu (30/9). Sayangnya, Bambang belum memastikan apakah akan terbit beleid baru terkait dengan hal tersebut. Namun, meskipun nilai tambahnya kecil, kata Bambang, pemerintah tetap tidak memperbolehkan perusahaan tambang melakukan ekspor mineral mentah. "Tetap tidak bisa lah (ekspor mineral mentah), Nanti kita evaluasi. Logikanya kalau loncatannya hanya 10% dari kondisi terakhir, masa disuruh ningkatin sampai 90%. Sedangkan investasi cukup besar (bangun smelter)," urainya. Terkait dengan itu, Kementerian ESDM juga bakal meninjau kembali kapasitas smelter terkait dengan ketersediaan cadangan dan kebutuhan industri dalam negeri. Bambang bilang, ada dua pilihan kapasitas smelter. Pertama, dengan kapasitas sekitar satu banding dua dengan bijihnya, seperti yang terjadi saat ini. Kedua, kapasitas smelter sama dengan jumlah ketersediaan bijih. "Sekarang kita mau pakai yang mana? Ini yang perlu kami pertimbangkan dan ukur," ujarnya Jika kapasitas smelter jauh lebih sedikit dari jumlah bijih yang tersedia, maka Indonesia bisa menjaga jumlah cadangannya untuk waktu yang lebih lama. Lain halnya jika kapasitas smelter sama dengan jumlah bijihnya. Menurut Bambang, hal tersebut akan membuat ketersediaan cadangan sumber daya mineral Indonesia terancam. Padahal, kegiatan eksplorasi masih tergolong rendah. "Timbul pertanyaan lagi, apakah kita akan terus tarik investor untuk bangun smelter atau kita cukup sekian saja karena ingin ketersediaannya lebih lama?" tuturnya. Bambang melanjutkan permasalahan juga muncul terkait sinkronisasi program hilirisasi dengan penyerapan di sektor industri. Menurutnya, perlu dipikirkan juga apakah hasil pemurnian mineral benar-benar digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Oleh karena itu, dia mendorong agar industri dalam negeri terus dikembangkan agar efek berantai dari program hilirisasi benar-benar dirasakan di dalam negeri. "Kuncinya adalah negara ini haru jadi negara industri. Kalau kita buat smelter sebanyak-banyaknya lalu diekspor ya sama saja. barang kita cepat habis, sementara kita gak jadi negara industri," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News