KONTAN.CO.ID - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2018 mencapai 5,17%. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya sebesar 5,07%, tahun 2016 5,03% dan tahun 2015 4,88%. Dan tahun 2019 diramalkan akan semakin membuat perekonomian menurun drastis, yaitu di kisaran 5,08%. Penurunan angka pertumbuhan perekonomian ini disebabkan nilai surplus untuk ekspor semakin menurun dibandingkan dengan impor barang. Data tahun 2018 memperlihatkan, nilai ekspor barang dan jasa mencapai Rp 3.110,8 trilliun, sementara impor barang dan jasa Rp 3.272,5 trilliun, ada selisih Rp 161,79 trilliun. Defisit tersebut disumbang oleh impor migas (BBM) mencapai US$ 29,8 miliar (BPS, Januari 2019). Defisit lain dari impor perdagangan non-migas yang meningkat 19,71% jadi US$ 158,8 miliar. Sedangkan nilai ekspornya hanya tumbuh 6,25% menjadi US$ 162,6 miliar (BI, Januari 2018).
Sementara neraca perdagangan Indonesia April 2019 mencatatkan nilai ekspor sebesar US$ 12,6 miliar, sedang nilai impor US$ 15,10 miliar. Identifikasi penyebab defisit neraca perdagangan barang non-migas pada 10 barang ekspor non-migas tertinggi: bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, otomotif dan bagiannya, mesin atau peralatan listrik, besi dan baja, perhiasan permata, karet dan barang dari karet, mesin-mesin atau pesawat mekanik, alas kaki, dan pakaian jadi bukan rajutan (BPS, April 2019). Lalu, 10 non-migas dengan nilai impor tinggi ialah mesin peralatan listrik, plastik dan barang dari plastik, serealia, pupuk, bubur kayu, gula dan kembang gula, filamen buatan, garam, belerang, kapur, kapal laut dan bangunan terapung, kendaraan bermotor atau komponen (BPS, April 2019). Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah mencanangkan Industri Revolusi 4.0 (IR 4.0) sebagai lompatan pertumbuhan perekonomian optimal, peningkatan produktivitas, dan memperluas pasar. Diartikan sebagai peningkatan daya saing hasil industri, dengan prioritas industri berorientasi ekspor. Karena Indonesia telah mengalami deindustrialisasi prematur, perubahan industri bernilai tambah tinggi yaitu manufaktur menjadi bernilai tambah rendah yakni jasa dan perdagangan. Hal ini bisa dilihat dari nilai ekspor manufaktur semakin menurun sejak 2000 (Kemenko Perekonomian, April 2018). IR 4.0 meletakkan isu utama adalah revitalisasi sektor manufaktur dan meraih kembali posisi
net export. Permasalahan fundamental adalah bahan baku sebagai komponen kunci masih sangat tinggi, zona industri bahan baku
upstream diharapkan bisa ditinjau kembali. Lima industri sebagai fokus IR 4.0 adalah industri manufaktur bernilai tinggi dan berdampak tinggi. Industri manufaktur membutuhkan gas alam sebagai bahan baku untuk pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah dengan variasi produk, yaitu
naphta dan
natural gas atau gas alam kemudian menjadi
olefin, aromatic, syn gas. Dan, sebagai produk hilir adalah industri kimia, industri otomotif, industri makanan minuman, industri elektronika, serta industri tekstil. Sektor manufaktur merupakan sektor tertinggi yang mengonsumsi gas alam, hampir 90% (Dirjen IKTA, April 2018) dari seluruh produksi domestik. Daya serap gas alam bisa ditingkatkan dengan penurunan nilai jual dan kemudahan akses untuk meningkatkan industri manufaktur.
Bukan solusi Pengaruh harga produksi dengan harga gas alam adalah persentase pemakaian gas alam tersebut di sistem biaya produksi, atau dikenal dengan Cost of Goods Sold (COGS), mengindikasikan jumlah di kisaran 10%-60% dari seluruh biaya manufaktur menjadi barang jadi. Industri petrokimia dengan COGS antara 40%–60%, industri baja dengan COGS 25%–30%, keramik COGS 20%–30%, gelas serta
food and beverages COGS 15%–20%,
pulp and paper serta tekstil COGS 10%–15% adalah kebutuhan konsumsi gas alam (Keperin, September 2019). Ini adalah industri-industri menggunakan gas alam sebagai bahan baku. Tercatat industri manufaktur lain menggunakan gas alam sebagai sumber energi dengan COGS sebesar 5%–20%. Harga rata-rata gas domestik di hulu migas adalah US$ 5,11 per mmbtu (bervariasi US$ 2,0–US$ 8,0 per mmbtu ). Tapi harga jual gas dari badan usaha kepada industri (
end users) di pasar domestik, berkisar antara US$ 8,0–US$ 14,0 per mmbtu. Dibanding harga gas negara tetangga di titik
end user, Indonesia sebesar US$ 8,3 per mmbtu , Malaysia sebesar US$ 6,6 per mmbtu , Thailand seharga US$ 7,5 per mmbtu , China senilai US$ 8,0 per mmbtu (Kementerian ESDM, September 2019). Strategi selama ini adalah dengan memberikan subsidi kepada industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan (berdasarkan Peraturan Presiden 40/2016) bisa membeli gas dengan harga US$ 6,0 per mmbtu dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) khusus harga gas di atas US$ 6,0 per mmbtu. Tapi, ini bukan solusi utama pemecahan harga gas alam di tingkat
end users. Proses subsidi hanya sekadar meringankan keuangan industri
end user dan pihak penjual, tapi tak berdampak signifikan di tingkat hilir. Strategi lain, dengan penggunaan teknologi tepat guna dan efisien untuk eksplorasi lapangan gas alam dan penempatan sumber daya unggul untuk melakukan eksplorasi dengan mengurangi tingkat kesalahan teknis operasional. Lalu, mengurangi keterlambatan pelaksanaan proyek pengembangan dan pembangunan, perhitungan biaya estimasi lebih optimum tidak sekadar mengurangi biaya juga kualitas. Strategi lain adalah penurunan margin dari nilai selisih KKKS- badan usaha niaga gas-
end user. Atau, solusi lebih baik dengan pembelian langsung ke KKKS, tidak melalui badan usaha niaga. Ini dimungkinkan dengan perubahan peraturan pemerintah dan perubahan
business as usual di Indonesia. Apalagi, dengan kemajuan
marketplace dan
e-commerce saat ini, sudah bukan lagi menjadi hambatan bahwa penjual bisa langsung berinteraksi dengan pembeli. Ini memberikan kesempatan untuk memangkas rantai bisnis niaga gas dan mengurangi ketidakefisienan. Industri manufaktur akan langsung bernegosiasi dengan penghasil gas alam, dan melakukan transaksi.
Strategi lain adalah pelarangan ekspor untuk produk-produk industri manufaktur penerima insentif, sehingga bisa memberikan
multiplier effect terhadap industri manufaktur turunan domestik tier 2 hingga tier 6. Skenario penurunan harga menjadi US$ 6,0 per mmbtu memberikan dampak signifikan di industri hilir berbentuk pembayaran pajak, peningkatan daya beli masyarakat, dan secara tidak langsung akan membuka lapangan pekerjaan. Pembagian beban dengan penurunan harga gas bumi menjadi US$ 6,0 per mmbtu dengan kehilangan potensi penerimaan negara sektor hulu tercatat sebesar Rp 53,86 triliun akan diganti penerimaan pajak dari industri manufaktur turunannya Rp 57,23 triliun–Rp 85,84 triliun. Dan, mampu memberikan lapangan pekerjaan sebanyak 240.000 tenaga kerja (Kemperin, September 2019). Penulis: Muhammad Ade Irfan, Wakil Sekjen Pengurus Pusat Persatuan Insinyur Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana