KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga hanggar bekas milik Angkatan Udara di Wales telah disulap menjadi pabrik perakitan mobil mewah Aston Martin. Lini pengecatan telah siap, robot-robot bahkan belum dibuka dari kemasannya. Pabrik ini disiapkan Aston Martin jadi salah satu produksi utama perusahaan untuk model baru Mobil Aston Martin yang akan rilis 2020. Sayang, rencana ini bisa gagal akibat
no-deal Brexit. "Saya masih harus meyakinkan diri saya sendiri bahwa membangun pabrik (di Wales) merupakan keputusan tepat. Karena, sejujurnya no-deal Brexit adalah sebuah kegilaan," kata CEO Aston Martin Andy Palmer dikutip
Reuters, Kamis (21/2).
No-deal Brexit sendiri mengartikan bahwa Britania Raya akan segera berpisah dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019. Apa akibatnya? Tak ada transisi keliarnya Britania dari Eropa, sehingga tak ada kepastian relasi antar Britania dan Eropa di masa mendatang. Ini yang bikin Palmer galau, sebab hal demikian berpotensi membuat adanya sistem baru terkait pemeriksaan batas negara. Yang pada akhirnya mempengaruhi sistem transportasi dan logistik Britania-Eropa, termasuk bikin harga jual melambung. Namun, soal harga jual bukan perhatian utama Palmer. Karena sebagai produsen mobil mewah selalu ada orang-orang tajir yang siap menyerap produksi perusahaan. Kekhawatiran Palmer soal sistem logistik yang sangat berpotensi terganggu akibat
no-deal Brexit. Dimana akhirnya produksi juga akan terganggu. "Ketika dalam sebuah mobil ada 10.000 komponen, kemudian adalagi sub-komponennya, maka akan ada ratusan ribu komponen yang dibutuhkan. Dan dari mana saja asalnya?" Lanjut Palmer. Saking seriusnya persoalan rantai pasok, Sejak bulan lalu, Aston bahkan telah membuat posisi khusus, Direktur
Supply Chain. Saat ini tugas direktur baru ini cuma satu: membuat sistem rantai pasok yang mumpuni menghadapi Brexit. Apalagi saat ini, Aston juga tengah membangun gudang-gudang stok komponen di sekitaran Britania. Sementara mesin utama mobil Aston masih dikirim dari pabrik Mercedez Benz di Jerman. Makanya, dengan sistem pengecekan batas, dan tarif baru hasil
no-deal Brexit, semua akan sia-sia. Palmer sendiri membayangkan akan terjadi kekacauan di pelabuhan-pelabuhan di Britania yang membuat waktu tunggu di pelabuhan bisa meningkat tajam. Singkatnya, ini akan membuat sistem produksi Aston berantakan.
No-deal Brexit juga turut membuat pabrikan lain ketar-ketir. Nissan misalnya yang telah membatalkan merakit X-Trail SUV di Britania, tetap harus mengalami kesusahan jika
no-deal Brexit terjadi sebab, perusahaan asal Jepang ini telah punya stok 450.000 unit mobil, dan tentu sulit melakukan penarikan unit dalam waktu dekat mengingat no-deal Brexit akan terjadi 29 Maret 2019.
Toyota pun demikian, meski hanya memutuskan hanya akan memproduksi Corolla di Britania,
no-deal Brexit tetap menjadi tantangan mengingat satu kendaraan punya siklus hidup selama tujuh tahun. Sedangkan Honda telah memutuskan untuk menutup pabrikdi Inggris pada 2021 dengan konsekuensi menghasilkan 3.500 pengangguran baru. Namun, hal berbeda justru disampaikan oleh pabrikan otomotif pribumi, Vauxhall. Bos Vauxhall Stephen Norman justru menilai
no-deal Brexit bisa bikin Vauxhall meraup pangsa pasar yang lebih besar. Norman memprediksi pangsa pasar Vauxhall di Britania bisa mencapai 20% setelah
no-deal Brexit. Padahal pada 2017, perusahaan cuma berhasil meraih 7,5% pangsa pasar di Inggris. "Orang-orang akan memperhatikan dan bertanya: apakah saya akan membeli mobil mahal yang berfungsi sama baiknya dengan Vauxhall?" Kata Norman.
Editor: Tendi Mahadi