JAKARTA.Kepemimpinan era Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo serta Basuki Tjahaja Purnama telah melaksanakan beragam proyek penanggulangan banjir di Ibu Kota. Normalisasi sungai, waduk, saluran mikro hingga drainase telah dilakukan. Namun, mengapa Jakarta masih banjir? Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Manggas Rudy Siahaan mengungkapkan, dua hal penyebab Jakarta masih dilanda banjir adalah belum selesainya seluruh proyek penanggulangan banjir. Kondisi tersebut pun diperparah dengan munculnya intensitas curah hujan yang tinggi dan cuaca ekstrem yang juga tak tentu. "Semuanya lagi dalam tahap perbaikan semua. Di sisi lain Jakarta terusan mendapatkan curah hujan yang cukup ekstrem," ujar Rudy saat dihubungi wartawan pada Rabu (29/1/2014) pagi. Normalisasi sungai contohnya. DKI Jakarta ada 13 sungai besar. Namun, normalisasi hanya dilaksanakan di empat sungai besar. Sisanya akan dilaksanakan kemudian. Empat sungai itu pun belum 100 persen rampung. Kendala utama yakni masih adanya pemukiman warga di bantaran sungai sehingga tak memungkinkan masuk alat berat. Rudy menjelaskan, Sungai Ciliwung misalnya, seharusnya punya lebar 50 meter dengan trase kering di sisi kanan dan kirinya 15 meter. Namun, lantaran dihuni permukiman, lebar aliran sungai itu hanya 20 meter saja. Kondisi demikian terjadi di 12 sungai lainnya. "Di Ciliwung kalau Katulampa naik,pasti Kampung Pulo kerendam. Kali Krukut, kalau air naik, Petogogan pasti terendam. Sama di Kali Mampang, air naik, Duren Tiga pasti kerendam," jelasnya. Rudy yakin akan lain cerita jika bantaran sungai-sungai tersebut bersih dari pemukiman dan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH), normalisasi sungai berjalan lancar serta penambahan tempat-tempat penampungan air, baik di hulu atau di Jakarta. Bukan tak mungkin cita-cita Ibu Kota bebas dari banjir dapat terlaksana. Jokowi telah menegaskan bahwa relokasi warga di bantaran kali harus dimulai tahun 2014 ini. Mereka akan dipindahkan secara bertahap seiring dengan rampungnya pembangunan rusunawa. Selain terkendala soal pembebasan lahan, banjir di Jakarta juga terjadi akibat tumpang tindihnya saluran rumah tangga dengan sistem drainase di Jakarta. Rudy mengatakan, drainase harusnya khusus diperuntukan bagi debit air hujan di jalan. Tapi faktanya, drainase di Jakarta menjadi satu dengan buangan rumah tangga. Belum lagi, kondisi saluran diperparah dengan banyaknya utilitas, sampah serta lumpur endapan mengakibatkan luas penampang saluran menjadi lebih kecil dan lebih sedikit menampung debit air. Alhasil, 74 titik genangan di Jakarta selalu muncul setiap hujan. Rudy mengakui kesulitan mengurai tumpang tindih drainase di DKI Jakarta. Namun, persoalan itu dapat diselesaikan dengan cara pemasangan ducting di stiap saluran rumah tangga dan drainase. "Hanya itu (ducting) solusinya. Kalau pakai itu nanti semuanya ada jalur alirannya sendiri-sendiri. Tapi itu butuh waktu lama," ujarnya. (Fabian Januarius Kuwado)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Normalisasi sudah, mengapa Jakarta masih banjir?
JAKARTA.Kepemimpinan era Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo serta Basuki Tjahaja Purnama telah melaksanakan beragam proyek penanggulangan banjir di Ibu Kota. Normalisasi sungai, waduk, saluran mikro hingga drainase telah dilakukan. Namun, mengapa Jakarta masih banjir? Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Manggas Rudy Siahaan mengungkapkan, dua hal penyebab Jakarta masih dilanda banjir adalah belum selesainya seluruh proyek penanggulangan banjir. Kondisi tersebut pun diperparah dengan munculnya intensitas curah hujan yang tinggi dan cuaca ekstrem yang juga tak tentu. "Semuanya lagi dalam tahap perbaikan semua. Di sisi lain Jakarta terusan mendapatkan curah hujan yang cukup ekstrem," ujar Rudy saat dihubungi wartawan pada Rabu (29/1/2014) pagi. Normalisasi sungai contohnya. DKI Jakarta ada 13 sungai besar. Namun, normalisasi hanya dilaksanakan di empat sungai besar. Sisanya akan dilaksanakan kemudian. Empat sungai itu pun belum 100 persen rampung. Kendala utama yakni masih adanya pemukiman warga di bantaran sungai sehingga tak memungkinkan masuk alat berat. Rudy menjelaskan, Sungai Ciliwung misalnya, seharusnya punya lebar 50 meter dengan trase kering di sisi kanan dan kirinya 15 meter. Namun, lantaran dihuni permukiman, lebar aliran sungai itu hanya 20 meter saja. Kondisi demikian terjadi di 12 sungai lainnya. "Di Ciliwung kalau Katulampa naik,pasti Kampung Pulo kerendam. Kali Krukut, kalau air naik, Petogogan pasti terendam. Sama di Kali Mampang, air naik, Duren Tiga pasti kerendam," jelasnya. Rudy yakin akan lain cerita jika bantaran sungai-sungai tersebut bersih dari pemukiman dan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH), normalisasi sungai berjalan lancar serta penambahan tempat-tempat penampungan air, baik di hulu atau di Jakarta. Bukan tak mungkin cita-cita Ibu Kota bebas dari banjir dapat terlaksana. Jokowi telah menegaskan bahwa relokasi warga di bantaran kali harus dimulai tahun 2014 ini. Mereka akan dipindahkan secara bertahap seiring dengan rampungnya pembangunan rusunawa. Selain terkendala soal pembebasan lahan, banjir di Jakarta juga terjadi akibat tumpang tindihnya saluran rumah tangga dengan sistem drainase di Jakarta. Rudy mengatakan, drainase harusnya khusus diperuntukan bagi debit air hujan di jalan. Tapi faktanya, drainase di Jakarta menjadi satu dengan buangan rumah tangga. Belum lagi, kondisi saluran diperparah dengan banyaknya utilitas, sampah serta lumpur endapan mengakibatkan luas penampang saluran menjadi lebih kecil dan lebih sedikit menampung debit air. Alhasil, 74 titik genangan di Jakarta selalu muncul setiap hujan. Rudy mengakui kesulitan mengurai tumpang tindih drainase di DKI Jakarta. Namun, persoalan itu dapat diselesaikan dengan cara pemasangan ducting di stiap saluran rumah tangga dan drainase. "Hanya itu (ducting) solusinya. Kalau pakai itu nanti semuanya ada jalur alirannya sendiri-sendiri. Tapi itu butuh waktu lama," ujarnya. (Fabian Januarius Kuwado)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News