Nota Keuangan 2025, Ekonom: Rasio Utang Optimistis, Tingkat Kemiskinan Agresif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pidato Nota Keuangan Pengantar Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 akan berlangsung pada 16 Agustus 2024 di Gedung DPR RI.

Nantinya, Presiden Joko Widodo akan membacakan kerangka ekonomi makro, parameter fiskal, hingga sosial untuk tahun depan.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, turut menyoroti apa yang akan disampaikan Presiden Joko Widodo tersebut.


Pertama, dari parameter fiskal, pendapatan negara tahun depan ditargetkan kisaran 12,30%-12,36% dari produk domestik bruto (PDB), belanja negara 14,59%-15,18% dari PDB, keseimbangan primer 0,14%-0,61% dari PDB, defisit 2,29%-82% dari  PDB, pembiayaan investasi 0,305-0,50% dari PDB, dan rasio utang 37,82%-38,71% dari PDB.

Baca Juga: Rasio Utang Melesat, Risiko Makin Meningkat

Samirin menilai asumsi rasio utang yang dirancang pemerintah terlalu optimistis. Hal ini mengingat pemerintah harus mengeluarkan biaya Rp 1.339 triliun untuk cicilan pokok dan bunga utang yang dibiayai oleh utang baru selain untuk membiayai operasional Pemerintahan. Menurutnya, rasio ini berpotensi terlampaui dari yang ditargetkan.

Kemudian, terkait asumsi penerimaan Ia memulai cukup konservatif.

“Nampaknya mengantisipasi penerimaan pajak yang relatif rendah, seperti pada tahun 2024, akibat perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas yang berdampak pada PNBP,” tutur Samirin kepada Kontan, Rabu (14/8).

Terkait asumsi defisit, menurutnya ditargetkan cukup lebar dan tendensinya mengarah pada batas atas atau bahkan terlampau. Ia menambahkan, biaya bunga yang tinggi merupakan satu faktor penting, selain potensi stagnasi pendapatan.

Kedua, parameter ekonomi makro, pemerintah bersama panitia kerja (panja) DPR RI menyepakati pertumbuhan ekonomi tahun depan ditargetkan 5,1%-5,5%, laju inflasi ditargetkan 1,5%-3,5%, nilai tukar rupiah ditargetkan Rp 15.300-Rp15.900 per dollar AS.

Suku bunga surat berharga negara (SBN) 10 tahun ditargetkan 6,9%-7,2%, harga minyak Indonesia US$ 75-85 per barel, lifting minyak bumi  580-605 ribu barel per hari, serta lifting gas bumi 1.003-1047 ribu barel per hari.

Samirin menilai, target nilai tukar terlalu optimistis. Menurutnya menguatnya nilai tukar rupiah baru-baru ini bersifat momentum, yang tidak didukung faktor fundamental. Ia memprediksi rupiah berpotensi melemah terhadap dolar di tahun 2025.

Sementara itu, suku bunga SBN 10 tahun, meskipun saat ini berkisar 6,5%, tetapi dipasar sekunder mencapai 7,2% lebih. Dengan inflasi 2,3% dan bunga pasar 7,2%, risiko Indonesia dianggap tinggi, bahkan berpotensi mencapai 7,2% atau lebih.

Meski begitu, ia menilai asumsi lifting minyak bumi dan migas relatif moderat, tetapi melihat pengalaman masa lalu selalu tidak tercapai. Sehingga perlu Upaya serius untuk mendongkrak, baik dengan teknologi baru (OER) maupun investasi baru.

Baca Juga: Mulai Tahun Ini Hingga 2030 Indonesia Menghadapi Defisit Gas di Sejumlah Wilayah

“Terkait inflasi, Indonesia memasuki era inflasi rendah, tetapi lebih dikarenakan penurunan daya beli. Asumsi ini akan tercapai di 2025, bahkan mendekati batas bawah,” ungkapnya.

Ketiga, parameter sosial, di antaranya tingkat kemiskinan ditargetkan 7%-8%, tingkat kemiskinan ekstrem ditargetkan 0%, indeks rasio gini ditargetkan 0,379-0,382, dan tingkat pengangguran terbuka ditargetkan 4,5%-5%.

Samirin menilai, asumsi tingkat kemiskinan tersebut terlalu agresif, mengingat tren beberapa tahun terakhir dan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang tinggi, sehingga mengurangi angka kemiskinan dinilai akan semakin menantang.

Sebagai catatan, Ia mengungkapkan, cara pengukuran tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan tingkat ketimpangan di Indonesia menggunakan standar yang sangat rendah. Risikonya, ini akan bagus di kertas, tetapi Masyarakat merasakan kehidupan yang makin sulit.

“Pengukuran parameter ini perlu disesuaikan, supaya tidak berpotensi menjadi bom waktu,” terangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi