KONTAN.CO.ID - Saya bergabung di Airnav Indonesia sejak Maret 2017. Saat itu, saya menjadi Direktur Navigasi di Kementerian Perhubungan. Saya mendapat perintah untuk pindah memimpin Airnav. Proses kepindahan dari Kementerian Perhubungan mulai dari pencalonan, seleksi, kemudian fit and proper test berlangsung sekitar 2–3 bulan. Waktu ditunjuk saya mendapat amanah dari pemerintah untuk melakukan pembenahan total dari sisi pelayanan, terutama keselamatan, kapasitas dan konektivitas.
Selain itu, juga diminta solid bekerjasama dengan stakeholder, baik maskapai maupun operator bandara. Pekerjaan sebagai direktur utama sangat berbeda dari pekerjaan lama saya. Di Kementerian Perhubungan saya membuat regulasi dan mengawasi jalannya regulasi. Nah, setelah di sini saya menjalankan regulasi itu secara nyata. Awalnya agak berat. Begitu masuk sini, saya membaca semua aturan mainnya, mulai dari laporan keuangan,
standard operation procedure (SOP), hingga tupoksi direksi. Saya targetkan dalam sebulan sudah bisa mengejar ketertinggalan. Sebagai usaha non profit, kami tidak dikejar untuk membukukan laba, tetapi harus fokus ke pelayanan. Ini amanah Undang-Undang. Airnav Indonesia adalah perusahaan milik negara yang kepemilikannya tidak boleh dibagi, sehingga kami melakukan monopoli. Tidak ada yang bisa memberikan pelayanan navigasi selain Airnav. Kami mengenakan biaya sesuai tingkat pelayanan. Semua pendapatan dari end user digunakan kembali untuk melakukan pelayanan kepada mereka. Pokoknya pendapatan dan biaya harus seimbang. Selama memimpin Airnav saya membagi dua keputusan besar. Pertama meningkatkan kapasitas di bandara padat; Kedua memperluas konektivitas di bandara terluar. Ini bukan main usahanya. Kami harus memberikan gambaran menyeluruh ke Air Traffic Controller (ATC), meningkatkan kemampuan mereka, dan mengelola sistem manajemen yang baik. Misalnya di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Tangerang Banten. Awalnya dalam satu jam hanya bisa melayani 50–60 pergerakan pesawat. Sekarang telah meningkat jadi 86 pergerakan. Lalu di Ngurah Rai, Bali, bisa menangani 35 pesawat setiap jam. Demikian juga di Juanda Surabaya, sudah meningkat menjadi 30 pergerakan pesawat per jam. Sementara, dalam hal konektivitas, kami punya tantangan untuk menghubungkan bandara terluar dan terdalam. Misalnya di Papua. Kami berusaha menghubungkan 109 bandara di sana dengan bandara-bandara lain. Papua ini sangat khusus karena konturnya gunung-gunung. Penerbangan baru bisa dibuka atau tiba-tiba ditutup karena kabut. Lokasi bandara juga tergolong ekstrem di pegunungan. Ini yang menjadi tugas besar. Setelah ini, fokus kami adalah meningkatkan pelayanan ke bandara baru. Yang paling dekat adalah Bandara Kulon Progo di Yogyakarta, yang akan beroperasi April 2019. Kemudian ada Ciamis, Tasikmalaya, Purbalingga, Kediri dan Bintan. Tantangan terbesar bagi Airnav adalah bagaimana terus menjaga safety. Keselamatan adalah roh bisnis kami. Tidak apa-apa harus delay, tetapi keselamatan tetap utama. Masyarakat sangat sulit menerima ini. Misalnya penerbangan Jayapura–Wamena. Kalau kondisi cuaca Wamena menurun, pasti akan kami cegah. Keselamatan menjadi prioritas. Pentingnya Komunikasi Dalam layanan navigasi, kuncinya komunikasi dan koordinasi. Ini tampak mudah, tapi pelaksanaannya tidak. Sebab tiap stakeholder beda visi. Di internal, saya membangun komunikasi melalui telepon dan grup WhatsApp. Kalau tidak bisa diselesaikan, kami bawa ke ruang rapat sambil makan siang bersama. Saya lebih suka ngobrol bebas, tidak berbicara sebagai direktur utama. Saya menghilangkan semua sekat. Ini menjadi kunci supaya saya tahu permasalahan. Kalau menutup komunikasi saya tidak akan mendapatkan informasi. Bagi saya, yang menentukan kualitas karyawan adalah dari kejujuran dan integritas. Seorang pegawai ATC harus jujur melaporkan peristiwa yang ada. Menyampaikan peristiwa secara jujur merupakan integritas untuk mendukung keselamatan. Sebaliknya ketika berbohong justru menjadi masalah. Airnav punya peraturan yang ketat. Kalau ada pelanggaran dilakukan investigasi. ATC yang lalai, kami suspend lisensinya. Saat suspend ia hanya menerima gaji pokok. Padahal gaji sebagai ATC sangat besar. Setelah suspend tiga bulan, mereka boleh mengikuti uji kemampuan lagi apakah masih mampu mengemban tugas. Kalau tidak, kami pindahkan ke tugas administratif.
Sebaliknya kalau ada kejadian tapi karyawan sudah melakukan yang terbaik, kami berikan
reward. Lisensi ATC itu sampai umur 65 tahun. Saat ada teman-teman yang masuk masa pensiun usia 58 tahun masih bisa kami rekrut lewat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dengan catatan, punya kapasitas dan kesehatan baik untuk bertugas. Airnav ini perusahaannya agak misterius. Perannya tidak terlihat tetapi begitu ada kejadian pasti kami yang duluan di depan. Saat ada pesawat hilang kami yang paling tahu. ◆ Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga