NPL BPR Kian Melonjak, Ini Beberapa Penyebabnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memburuknya kualitas kredit turut menimpa industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Hal ini seiring dengan banyaknya BPR yang bangkrut pada tahun ini.

Tercatat, sepanjang tahun berjalan di 2024 ini terdapat 15 bank BPR yang bangkrut dan dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terbaru ada PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nature Primadana Capital yang dicabut izin usahanya oleh OJK. 

Berdasarkan data OJK, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) BPR juga tercatat melonjak menjadi 11,39% per Juni 2024. Padahal di periode yang sama tahun sebelumnya NPL BPR masih berada pada level 9,27%.


Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo), Tedy Alamysah menjelaskan, melonjaknya NPL BPR akibat dampak dari berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19. 

"Walau demikian, kami berharap kondisi ini tidak berlangsung lama, karena kami melihat BPR-BPRS terus berupaya memperbaiki kinerjanya baik dari sisi kuantitas maupun dari kualitasnya. Dan di akhir tahun nanti kami harapkan tingkat rasio NPL dapat terjaga di dibawah 8%," ujar Tedy kepada kontan.co.id, Selasa (17/9).

Baca Juga: Banyak yang Bangkrut, OJK Beberkan Tantangan BPR/BPRS ke Depan Semakin Berat

Menurut Tedy, dalam upaya menjaga kualitas kredit, industri BPR berupaya meningkatkan penyaluran kredit secara sehat, tepat dan memenuhi kaidah prudential banking

"Tetapi bagi BPR yang memiliki kualitas kredit yang cukup besar, upaya-upaya restrukturisasi akan menjadi pilihan yang paling bijak dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih," katanya. 

Tedy pun menjabarkan, tantangan yang sangat dirasakan industri BPR yaitu pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan kinerja BPR. Oleh karena itu, pihaknya berharap stimulus pemulihan ekonomi yang selama ini telah di upayakan pemerintah, benar-benar memberikan dampak terhadap sektor ril ekonomi di Masyarakat.

Direktur Utama BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha pun mengakui ketidakpastian ekonomi makro seperti perlambatan ekonomi global atau lokal dan kenaikan suku bunga berdampak pada daya beli masyarakat dan kemampuan mereka untuk membayar kembali pinjaman.

Ditambah lagi, dampak lanjutan dari pandemi COVID-19 disebut Nyoman masih mempengaruhi beberapa sektor ekonomi, terutama UMKM yang menjadi salah satu target pasar utama BPR. Pemulihan ekonomi yang lambat membuat sebagian debitur kesulitan dalam memenuhi kewajiban kreditnya.

Walau demikian, Nyoman menyebut kualitas kredit yang dimiliki BPR Hasa Mitra masih terjaga di level yang aman. Ia pun merinci, NPL bruto BPR Hasamitra pada posisi Desember 2023 ada di angka 2,44%. Angka tersebut tercatat mengalami penurunan jika melihat posisi Agustus 2024 yang ada di level 2,29%. Nyoman pun menargetkan NPL hingga akhir tahun dapat terjaga di level 1,5%.

Baca Juga: LPS Siapkan Pembayaran Klaim Penjaminan Simpanan Nasabah BPR Nature Primadana Capital

Dalam mengantisipasi terjadinya kenaikan NPL, pihaknya berupaya melakukan proses penilaian kredit yang kuat, antara lain dengan analisa kredit yang mendalam mengenau kemampuan bayar, stabilitas pendapatan calon debitur, riwayat kredit, dan kondisi keuangan calon debitur. 

"Selain itu, wajib dilakukan kunjungan lapangan, survei ke tempat usaha debitur untuk memastikan keberadaan dan operasional bisnis berjalan baik, melakukan diversifikasi portofolio kredit, menjadi rasio kredit terhadap simpanan (LDR), monitoring dan pengawasan kredit yang aktif, restrukturisasi kredit untuk nasabah bermasalah, pendidikan dan literasu keuangan nasabah peningkatan kapasitas SDM, dan asuransi kredit," jelasnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae pun mengungkapkan,  dinamika ekonomi global dan domestik membawa tantangan bagi industri perbankan, tidak terkecuali industri BPR/BPRS. Menurutnya BPR/BPRS perlu mencermati tantangan persaingan ke depan, terutama bagi yang memiliki daya saing rendah.

"Industri BPR tengah menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen UMKM. Untuk menghadapi perubahan dan tantangan tersebut, BPR/BPRS diharapkan memiliki ketahanan dan daya saing yang kuat, sehingga dapat mempertahankan kinerja dan eksistensinya," ujarnya.

Oleh karena itu, pada 21 Mei 2024, OJK telah menerbitkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR/S. Pilar pertama dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan BPR/S adalah penguatan struktur dan daya saing.

Dian menjelaskan, pilar ini yang merupakan penguatan fundamental dalam rangka meningkatkan daya saing BPR dan BPRS yang akan dilakukan melalui penguatan permodalan, akselerasi konsolidasi, penerapan tata kelola dan manajemen risiko, produk dan layanan yang inovatif, serta penguatan integritas.

Pilar kedua adalah akselerasi Digitalisasi BPR/BPRS sebagai salah satu upaya peningkatan efisiensi, integritas, serta daya saing melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis dan operasional BPR dan BPRS.

Kemudian pilar ketiga adalah Penguatan peran BPR dan BPRS terhadap wilayahnya sebagai wujud kontribusi dan peran BPR dan BPRS dalam penyediaan akses keuangan kepada sektor UMK dan masyarakat di wilayah sekitarnya sebagai fokus market BPR dan BPRS.

"Ketiga pilar tersebut merupakan pilar pengembangan dan penguatan bagi industri BPR/S yang apabila dilaksanakan sesuai dengan serangkaian inisiatif pada roadmap tersebut, diharapkan dapat memberikan peningkatan ketahanan dan daya saing bagi industri BPR/S untuk menghadapi tantangan bisnis," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih