JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2015 mengalami kenaikan 0,33% di banding bulan sebelumnya, menjadi di level 102,19. Kenaikan NTP yang terjadi disebabkan penurunan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,23%, lebih kecil dibandingkan penurunan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar. 0,55%. "Kenaikan NTP terutama untuk petani yang menanam tanaman pangan, peternak, dan perikanan. Sedangkan petani hortikultura dan perkebunan mengalami penurunan," ungkap Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, dalam paparan, Senin (2/3). Menurut Sasmito, kenaikan rata-rata NTP disebabkan turunnya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti harga bahan bakar minyak, dan harga kebutuhan lain seperti cabai, bawang dan lainnya. "Ada beberapa jenis tanaman yang dihasilkan turun (harganya), tapi biaya hidup petani menurun lebih tajam, sehingga NTP masih lebih tinggi," imbuh Sasmito. Pada Februari 2015, NTP subsektor tanaman pangan mengalami kenaikan 0,79%, sedangkan NTP subsektor peternakan naik 0,67%. Sementara itu, NTP subsektor perikanan mengalami kenaikan 0,70%. Adapun NTP subsektor hortikultura mengalami penurunan 0,09%, dan NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami penurunan 0,43%. "Subsektor hortikultura apa boleh buat. Harga cabai, bawang turun tajam. Mau enggak mau turunnya harga barang yang diproduksi tidak mampu mengkompensasi turunnya harga barang kebutuhan sehari-hari," kata dia. Dia menambahkan, NTP tanaman perkebunan rakyat juga turun disebabkan permintaan dunia yang belum membaik, terutama komoditas kakao dan karet. Sasmito menjelaskan, NTP perikanan, baik nelayan maupun pembudidaya mengalami kenaikan masing-masing 1,19% dan 0,35%. Sedangkan NTP rumah tangga pertanian mengalami penurunan 0,13% diakibatkan, harga barang yang diproduksi lebih rendah dari biaya untuk memproduksinya. "Petani agak dirugikan, karena harga barang yang diproduksi turunnya lebih cepat dari biaya untuk produksi," kata Sasmito. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
NTP petani pangan, peternak, dan perikanan membaik
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2015 mengalami kenaikan 0,33% di banding bulan sebelumnya, menjadi di level 102,19. Kenaikan NTP yang terjadi disebabkan penurunan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,23%, lebih kecil dibandingkan penurunan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar. 0,55%. "Kenaikan NTP terutama untuk petani yang menanam tanaman pangan, peternak, dan perikanan. Sedangkan petani hortikultura dan perkebunan mengalami penurunan," ungkap Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, dalam paparan, Senin (2/3). Menurut Sasmito, kenaikan rata-rata NTP disebabkan turunnya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti harga bahan bakar minyak, dan harga kebutuhan lain seperti cabai, bawang dan lainnya. "Ada beberapa jenis tanaman yang dihasilkan turun (harganya), tapi biaya hidup petani menurun lebih tajam, sehingga NTP masih lebih tinggi," imbuh Sasmito. Pada Februari 2015, NTP subsektor tanaman pangan mengalami kenaikan 0,79%, sedangkan NTP subsektor peternakan naik 0,67%. Sementara itu, NTP subsektor perikanan mengalami kenaikan 0,70%. Adapun NTP subsektor hortikultura mengalami penurunan 0,09%, dan NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami penurunan 0,43%. "Subsektor hortikultura apa boleh buat. Harga cabai, bawang turun tajam. Mau enggak mau turunnya harga barang yang diproduksi tidak mampu mengkompensasi turunnya harga barang kebutuhan sehari-hari," kata dia. Dia menambahkan, NTP tanaman perkebunan rakyat juga turun disebabkan permintaan dunia yang belum membaik, terutama komoditas kakao dan karet. Sasmito menjelaskan, NTP perikanan, baik nelayan maupun pembudidaya mengalami kenaikan masing-masing 1,19% dan 0,35%. Sedangkan NTP rumah tangga pertanian mengalami penurunan 0,13% diakibatkan, harga barang yang diproduksi lebih rendah dari biaya untuk memproduksinya. "Petani agak dirugikan, karena harga barang yang diproduksi turunnya lebih cepat dari biaya untuk produksi," kata Sasmito. (Estu Suryowati) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News