Tuntutan mandiri sejak kecil membentuk Nyomananda menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri. Dengan modal itu, ia membangun Media Indra Buana (MIB). Kini, ia menguasai ratusan titik iklan di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.Bisnis periklanan selalu menarik. Tiap tahun, perputaran duit di industri ini bisa triliunan rupiah. Tak heran, banyak perusahaan iklan mengincar titik-titik papan reklame raksasa di jalan protokol yang ada di Jakarta. Salah satu penguasa bisnis ini adalah PT Media Indra Buana yang lebih dikenal dengan logo MIB dalam lingkaran bola. Kesuksesan MIB tak lepas dari peran Nyomananda, pemilik dan Presiden Direktur MIB. Memulai kiprahnya di bisnis media outdoor sejak 17 tahun silam, kini MIB sudah memiliki lebih dari 100 titik reklame strategis yang tersebar di Jabodetabek. MIB juga memiliki sekitar 60 titik papan iklan reklame yang memakai layar light-emitting diodes (LED). Mereka termasuk yang pertama mengadopsi teknologi ini di Indonesia. Kesuksesan Nyomananda tidak dibangun sekejap. Ia menitinya dari bawah. Uniknya, sejak kecil, ia tidak pernah berpikir untuk menjadi pengusaha seperti sekarang. “Saya tidak punya cita-cita jadi pengusaha. Sejak dulu, saya hanya ingin sukses,” katanya.Keinginan kuat untuk sukses muncul karena terdesak oleh kebutuhan hidup. Saat masih berusia enam tahun, Nyomananda, pria berdarah Bali tapi besar di Madura ini, melihat kenyataan bahwa bisnis orang tuanya bangkrut. Bungsu dari lima bersaudara terpaksa menjadi mandiri sejak masuk Panti Asuhan Don Bosco di Surabaya, Jawa Timur. Ia juga jarang bertemu orang tuanya hingga melanjutkan pendidikan SMP, SMA di Bogor, dan lulus perguruan tinggi di Jakarta. Kehidupan Nyomananda lebih banyak nomaden. Kadang ia tinggal di rumah opanya, kadang ia tinggal di rumah temannya. “Tinggal berpindah dengan berbagai orang yang berbeda membuat saya belajar banyak,” katanya. Ia belajar bergaul dengan berbagai tipe orang, meraih kepercayaan orang, hingga membangun relasi bisnis.Setelah lulus jurusan akuntansi dari Perbanas, Nyomananda bekerja sebagai akuntan di berbagai perusahaan. Tapi, ia tidak pernah betah lantaran tidak sesuai dengan ambisinya menjadi orang sukses. Setelah empat kali berpindah kerja, pada 1993, ia bekerja di perusahaan ekspor impor rotan dan mebel. Ia juga bekerja sambilan sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan media luar ruang, PT Citra Indraloka Puri (CIP). Ia bertugas mencari perusahaan untuk beriklan di beberapa titik papan reklame milik CIP. Komisinya lumayan besar, yaitu sekitar 10%–15%, dari hasil kontrak iklan. Setahun bekerja dobel, ia merasa semakin jauh dari kesuksesan. Alhasil, pada 1994, pria kelahiran 25 Januari 1964 ini pun memutuskan membuka usaha periklanan sendiri. Modalnya sekitar Rp 275 juta, hasil simpanan dan komisi saat bekerja. Saat mendirikan MIB, ia hanya memiliki sekitar lima karyawan. Selain memimpin perusahaan, ia juga menjadi tenaga pemasaran.Menjaring klien besar Sebagai pemain baru di bisnis periklanan, strategi yang diterapkan Nyomananda adalah mencari izin titik reklame dan menarik perusahaan agar mau beriklan. Ia berhasil mendapatkan delapan titik iklan di Bandung, Jawa Barat, dan dua titik papan reklame di Jakarta. Nyomananda juga membidik satu perusahaan besar. “Saya harus mendapatkan iklan dari HM Sampoerna,” katanya. Dengan mengail nama besar, ia yakin trust atau kepercayaan perusahaan lain ikut naik. Ia rela bolak-balik Jakarta–Surabaya naik kereta dan menginap di hotel murah untuk menembus akses ke HM Sampoerna. Akhirnya, Nyomananda berhasil meyakinkan salah satu eksekutif sehingga mendapatkan proyek iklan. “Saya berhasil memberikan kualitas layanan yang membuat mereka percaya terus kepada kami,” katanya. Selanjutnya, beberapa perusahaan rokok juga mempercayakan iklannya ke MIB.Strategi mendapatkan sebanyak mungkin titik iklan di Jakarta terus berlanjut. Nyomananda cerdik mengambil hati Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta dengan membantu renovasi Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada tahun 2001. Sebagai kompensasi, ia mendapat 12 titik iklan pilihan. Nyomananda kembali mendapatkan titik iklan setelah ikut membangun air mancur menari di Monas. “Sebenarnya, lebih mudah mengajukan izin titik papan reklame. Tapi, hal itu tidak memberikan keuntungan lebih bagi Pemprov,” katanya. Nyomananda juga berani berinovasi dengan memasang banyak iklan videotron. “Layar videotron LED menjadi media iklan yang sekarang booming,” katanya. Dengan cara ini, perusahaan rokok masih setia beriklan lewat MIB. Kini, pendapatan MIB mencapai Rp 100 miliar setahun dengan pertumbuhan bisnis 15%–20% setiap tahun. “Modal saya adalah kepercayaan pelanggan,” katanya. Ke depan ia ingin membangun 150 titik lagi di Surabaya dan kota-kota besar lain. Ia juga berharap menggaet investor asing strategis. “Salah satu rencana kami adalah dengan go public,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Nyomananda merajai titik iklan di Jakarta dengan bekal kecerdikan
Tuntutan mandiri sejak kecil membentuk Nyomananda menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri. Dengan modal itu, ia membangun Media Indra Buana (MIB). Kini, ia menguasai ratusan titik iklan di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.Bisnis periklanan selalu menarik. Tiap tahun, perputaran duit di industri ini bisa triliunan rupiah. Tak heran, banyak perusahaan iklan mengincar titik-titik papan reklame raksasa di jalan protokol yang ada di Jakarta. Salah satu penguasa bisnis ini adalah PT Media Indra Buana yang lebih dikenal dengan logo MIB dalam lingkaran bola. Kesuksesan MIB tak lepas dari peran Nyomananda, pemilik dan Presiden Direktur MIB. Memulai kiprahnya di bisnis media outdoor sejak 17 tahun silam, kini MIB sudah memiliki lebih dari 100 titik reklame strategis yang tersebar di Jabodetabek. MIB juga memiliki sekitar 60 titik papan iklan reklame yang memakai layar light-emitting diodes (LED). Mereka termasuk yang pertama mengadopsi teknologi ini di Indonesia. Kesuksesan Nyomananda tidak dibangun sekejap. Ia menitinya dari bawah. Uniknya, sejak kecil, ia tidak pernah berpikir untuk menjadi pengusaha seperti sekarang. “Saya tidak punya cita-cita jadi pengusaha. Sejak dulu, saya hanya ingin sukses,” katanya.Keinginan kuat untuk sukses muncul karena terdesak oleh kebutuhan hidup. Saat masih berusia enam tahun, Nyomananda, pria berdarah Bali tapi besar di Madura ini, melihat kenyataan bahwa bisnis orang tuanya bangkrut. Bungsu dari lima bersaudara terpaksa menjadi mandiri sejak masuk Panti Asuhan Don Bosco di Surabaya, Jawa Timur. Ia juga jarang bertemu orang tuanya hingga melanjutkan pendidikan SMP, SMA di Bogor, dan lulus perguruan tinggi di Jakarta. Kehidupan Nyomananda lebih banyak nomaden. Kadang ia tinggal di rumah opanya, kadang ia tinggal di rumah temannya. “Tinggal berpindah dengan berbagai orang yang berbeda membuat saya belajar banyak,” katanya. Ia belajar bergaul dengan berbagai tipe orang, meraih kepercayaan orang, hingga membangun relasi bisnis.Setelah lulus jurusan akuntansi dari Perbanas, Nyomananda bekerja sebagai akuntan di berbagai perusahaan. Tapi, ia tidak pernah betah lantaran tidak sesuai dengan ambisinya menjadi orang sukses. Setelah empat kali berpindah kerja, pada 1993, ia bekerja di perusahaan ekspor impor rotan dan mebel. Ia juga bekerja sambilan sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan media luar ruang, PT Citra Indraloka Puri (CIP). Ia bertugas mencari perusahaan untuk beriklan di beberapa titik papan reklame milik CIP. Komisinya lumayan besar, yaitu sekitar 10%–15%, dari hasil kontrak iklan. Setahun bekerja dobel, ia merasa semakin jauh dari kesuksesan. Alhasil, pada 1994, pria kelahiran 25 Januari 1964 ini pun memutuskan membuka usaha periklanan sendiri. Modalnya sekitar Rp 275 juta, hasil simpanan dan komisi saat bekerja. Saat mendirikan MIB, ia hanya memiliki sekitar lima karyawan. Selain memimpin perusahaan, ia juga menjadi tenaga pemasaran.Menjaring klien besar Sebagai pemain baru di bisnis periklanan, strategi yang diterapkan Nyomananda adalah mencari izin titik reklame dan menarik perusahaan agar mau beriklan. Ia berhasil mendapatkan delapan titik iklan di Bandung, Jawa Barat, dan dua titik papan reklame di Jakarta. Nyomananda juga membidik satu perusahaan besar. “Saya harus mendapatkan iklan dari HM Sampoerna,” katanya. Dengan mengail nama besar, ia yakin trust atau kepercayaan perusahaan lain ikut naik. Ia rela bolak-balik Jakarta–Surabaya naik kereta dan menginap di hotel murah untuk menembus akses ke HM Sampoerna. Akhirnya, Nyomananda berhasil meyakinkan salah satu eksekutif sehingga mendapatkan proyek iklan. “Saya berhasil memberikan kualitas layanan yang membuat mereka percaya terus kepada kami,” katanya. Selanjutnya, beberapa perusahaan rokok juga mempercayakan iklannya ke MIB.Strategi mendapatkan sebanyak mungkin titik iklan di Jakarta terus berlanjut. Nyomananda cerdik mengambil hati Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta dengan membantu renovasi Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada tahun 2001. Sebagai kompensasi, ia mendapat 12 titik iklan pilihan. Nyomananda kembali mendapatkan titik iklan setelah ikut membangun air mancur menari di Monas. “Sebenarnya, lebih mudah mengajukan izin titik papan reklame. Tapi, hal itu tidak memberikan keuntungan lebih bagi Pemprov,” katanya. Nyomananda juga berani berinovasi dengan memasang banyak iklan videotron. “Layar videotron LED menjadi media iklan yang sekarang booming,” katanya. Dengan cara ini, perusahaan rokok masih setia beriklan lewat MIB. Kini, pendapatan MIB mencapai Rp 100 miliar setahun dengan pertumbuhan bisnis 15%–20% setiap tahun. “Modal saya adalah kepercayaan pelanggan,” katanya. Ke depan ia ingin membangun 150 titik lagi di Surabaya dan kota-kota besar lain. Ia juga berharap menggaet investor asing strategis. “Salah satu rencana kami adalah dengan go public,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News