Obama akhirnya kembali ke AS



YOKOHAMA. Setelah melakukan kunjungan ke Asia selama sepuluh hari, Presiden AS Barack Obama akhirnya kembali ke negaranya kemarin (13/10). Sebelumnya, Obama berjanji di depan para pimpinan pebisnis Jepang kalau AS akan selalu ada di Asia untuk mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dunia. "Kami tidak mau kehilangan kesempatan untuk menjual barang dan jasa kami di pasar yang tumbuh dengan pesat ini," jelas Obama pada saat pidato di pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation's CEO Business kemarin di Yokohama. Dia juga menambahkan, AS tidak mau kehilangan kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja baru. "Memperkuat hubungan ekonomi dengan Asia bisa menjadi win-win solution bagi semua negara," tambahnya. Presiden kulit hitam pertama AS itu menamakan komitmennya dengan Asia sebagai bagian dari "jobs strategy" di mana tujuan utamanya adalah meningkatkan ekspor AS, menambah lapangan kerja, dan memberikan kontribusi bagi pemulihan ekonomi dunia.

Bukan tanpa hambatan

Di India, Obama mendapat sambutan hangat dalam kunjungan selama tiga hari. Dia bahkan dengan sukses membungkus kesepakatan komersial senilai US$ 10 miliar yang diprediksi bisa menciptakan sekitar 50.000 lapangan kerja baru di AS. Sedangkan di Indonesia, Obama mendapatkan simpati dari warga Muslim melalui pidatonya tentang pulang ke kampung halaman.Kendati begitu, perjalanan Obama ke Asia ini bukan tanpa masalah. Dalam pertemuan G-20 di Seoul, Obama gagal menghasilkan kesepakatan kongkret untuk kembali menyeimbangkan perekonomian global. Dia juga harus memperpanjang perundingan terkait perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan sebagai upaya untuk mendongkrak ekspor AS. Selain itu, meski Obama tidak mampir ke China, bukan berarti perseteruan dengan negara perekonomian terpesat dunia itu bisa dihindari. Pada pertemuan G-20, China membantah kritik mengenai pelemahan yuan yang ditujukan untuk mendukung ekspor yang menyebabkan kerugian besar bagi bisnis AS. China malah menuding penyebab pelemahan yuan terkait kebijakan stimulus moneter the Federal Reserve atau yang lazim dikenal sebagai quantitative easing. Sementara, Barack Obama memperpanjang perdebatan mengenai hal itu dengan mengkaitkann stimulus sebagai upaya global dalam mengendalikan nilai tukar saat ini.


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie