KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya emiten menjaring dana lewat penerbitan obligasi marak terjadi pada tahun ini. Hal tersebut dilakukan baik melalui penerbitan surat utang lokal maupun surat utang global. Geliat penjaringan dana lewat obligasi marak salah satunya, karena kredit utang Indonesia yang dinilai positif. Indonesia saat ini mengantongi penilaian positif dari beberapa lembaga pemeringkat international. Diantaranya Fitch Rating menaikan rating utang jangka panjang dalam mata uang asing dan lokal ke BBB dari BBB- dengan outlook stable. Standar and Poors juga menaikan rating Indonesia pada tahun lalu menjadi investment grade. Kenaikan itu mendorong keinginan emiten untuk mendapatkan dana pinjaman. Dari emiten karya ada WIKA yang ingin terbitkan obligasi global senilai Rp 5 triliun. Selain itu, WSKT juga berencana menerbitkan obligasi senilai Rp 7 triliun. Obligasi WSKT ini merupakan sisa plafon penawaran umum berkelanjutan (PUB) III WSKT tahun 2017 senilai Rp 10 triliun. Penerbitan tahap pertama dilakukan dengan nilai Rp 3 triliun pada September 2017.
Memang, emiten karya tengah menjaring dana untuk mencari tambahan darah segar untuk mendanai proyek-proyek mercusuar. Meski demikian, kesempatan tersebut tidak serta merta dilakukan juga untuk korporasi lain. Termasuk di antaranya yang bergerak dari beberapa sektor. Dari penelusuran Kontan.co.id, ada beberapa emiten yang mengagendakan akan menjaring dana tahun ini. Pada obligasi global misalnya, ada PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) yang berniat menerbitkan surat utang sebanyak US$ 300 juta, obligasi global TBLA senilai US$ 200 juta, obligasi global BHIT senilai US$ 150 juta - US$ 200 juta dan obliigasi TELE senilai Rp 2 triliun. Ada beberapa alasan emiten menerbitkan obligasi. Di antaranya untuk ekspansi, dan melakukan refinancing utang perusahaan jatuh tempo. Misalnya, TELE yang bermaksud refinancing utang Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Obligasi Berkelanjutan 1 Tiphone. Efek itu punya jumlah pokok sebesar Rp 2 triliun yang telah efektif sejak 30 Juni 2015. Sampai dengan berakhirnya masa periode penarikan, emiten ini telah menerbitkan sebesar Rp 1,94 triliun. Semuel Kurniawan, Sekretaris Perusahaan TELE menyatakan surat utang menjadi pilihan karena memiliki bunga yang lebih menarik dibandingkan pinjaman perbankan. Meski demikian, dalam menerbitkan surat utang tersebut juga memperhatikan sentimen tertentu. Misalnya saja, rencana kenaikan Fed Fund Rate oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. “Bukan hanya itu (bunga), tetapi lebih kepada fleksibelitas,” kata Semuel kepada KONTAN, Kamis (22/2). Selain itu, penerbitan obligasi tersebut juga ditujukan untuk menambah portofolio. Untuk tahun ini, TELE belum merencanakan untuk mencari pinjaman perbankan. Perusahaan akan berfokus pada penerbitan obligasi. “Tidak ada (pinjaman perbankan),” lanjutnya. Swasti Kartikaningtyas, Head Corporate Secretary SSMS menyatakan ada dua faktor kenapa perusahaan menerbitkan obligasi global. Pertama karena memang momentum saat ini dinilai tepat untuk menjaring pendanaan. Faktor kedua karena perusahaan bisa mendapat sisi positif publikasi. “Artinya perusahaan going global juga. Ini untuk ekspos melihat SSMS itu seperti apa, GCG perusahaan bagaimana, ini juga jadi tantangan untuk kami,” kata Swasti kepada KONTAN, Kamis (22/2). Dengan demikian, investor berkesempatan melihat prospek SSMS kedepan. Terutama dalam melihat suistainable bisnis perusahaan. Sejatinya, penerbitan obligasi global ini akan dilakukan tahun lalu. Namun, perusahaan menunda penerbitan, dan baru diterbitkan pada tahun ini. “Meski Indonesia saat itu bagus, tapi kami melhat pasar global kurang mendukung,” katanya.
Lebih lanjut dia menyatakan, kala itu permintaan pada pasar Amerika Serikat dan Eropa kurang optimal pada instrumen pendanaan keuangan komoditas. Sehingga dikhawatirkan penyerapan akan kurang maksimal. Obligasi global juga dipilih, lantaran jumlah dana yang diincar cukup besar. “Ditingkat lokal juga kan banyak yang menerbitkan obligasi, khawatirnya kurang maksimal,” imbuhnya. Swasti melanjutkan penerbitan pada awal tahun juga dinilai ingin membuat daya tarik. Terutama pada perusahaan kelapa sawit yang sudah hampir 12 tahun perusahaan perkebunan vakum dalam penerbitan global bonds. Pihaknya ingin menjadi pioner pada sektor perkebunan. “Ini sekaligus untuk menantang diri kami,” tambah Swasti. Menerbitkan obligasi global, bukan berarti SSMS menutup pintu untuk pinjaman perbankan. Pihaknya tetap mempertimbangkan instrumen tersebut, bila diperlukan. Oleh karena itu, mengingat faktor kebutuhan dan momentum yang ada perusahaan memutuskan untuk mengambil surat utang global. “Kami lihat dulu perkembangan seperti apa karena tidak bisa saklek,” tukasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat