Obligasi Korporasi Bisa Jadi Underlying Repo, Ini Dampaknya ke Pasar Obligasi!



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mulai menerima obligasi korporasi sebagai underlying transaksi repo (repurchase agreement) dalam operasi moneter BI. Pada tahap awal, BI akan menerima obligasi yang diterbitkan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai underlying repo

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman menjelaskan,  kebijakan BI yang membolehkan obligasi korporasi, diawali dari SMF, sebagai underlying repo berpotensi meningkatkan likuiditas dan daya tarik pasar obligasi korporasi tertentu melalui penurunan premi likuiditas dan imbal hasil. 

Baca Juga: Pefindo Sematkan Peringkat idA+ untuk Timah (TINS), Prospek Stabil


Secara makro, langkah ini memperluas saluran transmisi kebijakan moneter yang selama ini bertumpu pada SBN, mengurangi ketergantungan sistem keuangan pada surat utang negara, serta mendukung pendalaman pasar keuangan dan pembiayaan jangka panjang sektor riil.

“Berkaitan dengan risiko utama kebijakan ini adalah berpindahnya risiko kredit dan volatilitas harga obligasi korporasi ke neraca BI, terutama saat terjadi tekanan pasar,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (8/12/2025). 

Selain itu, Rizal mengatakan, ada potensi moral hazard jika pelaku pasar terdorong menahan obligasi yang lebih berisiko karena adanya akses likuiditas ke BI. Serta risiko tata kelola jika penetapan emiten yang eligible tidak selektif dan transparan. 

Rizal menilai, untuk pembukaan repo obligasi korporasi di luar SMF pada prinsipnya memungkinkan. Namun harus dilakukan secara bertahap dan terbatas, mengingat tingginya ketidakpastian global dan volatilitas pasar keuangan. 

“Perluasan sebaiknya difokuskan pada lembaga quasi-sovereign atau BUMN dengan kualitas kredit sangat baik, disertai batas eksposur yang ketat untuk menjaga kehati-hatian kebijakan moneter,” imbuhnya. 

Baca Juga: Dian Swastatika (DSSA) Lunasi Obligasi dan Sukuk Yang Jatuh Tempo, Segini Nilainya

Rizal menambahkan, obligasi yang layak dijadikan underlying repo BI idealnya memiliki peringkat kredit investment grade  likuiditas pasar sekunder yang memadai, serta diterbitkan oleh lembaga dengan tata kelola dan peran sistemik yang jelas. 

“Instrumen dengan volume transaksi rendah, volatilitas tinggi, atau risiko bisnis yang besar sebaiknya dihindari untuk mengurangi risiko harga dan risiko kredit,” terang Rizal. 

Dari strategi kebijakan, Rizal menilai BI perlu menerapkan kerangka manajemen risiko yang ketat melalui pengelompokan collateral berbasis risiko, penerapan haircut dan limit eksposur, serta evaluasi berkala atas kelayakan obligasi. 

“Kebijakan ini perlu dikomunikasikan secara jelas sebagai bagian dari penguatan transmisi moneter dan pendalaman pasar keuangan, bukan sebagai instrumen dukungan selektif terhadap korporasi tertentu,” jelas Rizal. 

Sebelumnya, Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI, Fitra Jusdiman mengungkapkan, selama ini, transaksi repo (repurchase agreement) di BI hanya bisa menggunakan SBN sebagai underlying asset atau jaminan. Artinya, apabila bank mau meminjam dana likuiditas lewat repo, mereka harus menyerahkan SBN ke BI sebagai agunan. 

Fitra menambahkan bahwa BI memiliki sejumlah kriteria terkait obligasi korporasi yang dapat diterima, antara lain mencakup peringkat kredit, likuiditas di pasar dan lembaga penerbit.

Baca Juga: Lontar Papyrus Tawarkan Obligasi dan Sukuk Berkelanjutan Total Rp 1 Triliun

Berdasarkan kriteria tersebut, untuk sementara waktu BI menetapkan obligasi yang diterbitkam oleh PT SMF sebagai instrumen berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai underlying dalam transaksi repo.

BI mencatat, pengembangan pasar repo akan memperkuat dan memperdalam pasar keuangan terutama obligasi korporasi sebagai sumber pembiayaan ekonomi, perluasan underlying transaksi repo BI dapat mendorong peningkatan transaksi surat berharga berkualitas tinggi, sehingga dapat mendorong peningkatan likuiditas di pasar keuangan dan pada gilirannya menurunkan biaya dana pinjaman korporasi tersebut.

Lebih lanjut, pasar obligasi korporasi Indonesia tercatat masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia. Berdasarkan data IMF dan Asian Bonds Online (2024), nilai outstanding obligasi korporasi Indonesia baru mencapai 2,1% dari produk domestik bruto (PDB), atau sekitar US$ 29 miliar dari total PDB sebesar US$ 1,396 triliun.

Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan (60,7% dari PDB), Singapura (27,06%), dan Jepang (16,84%). Adapun total rasio utang terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 40,19%, dengan outstanding obligasi pemerintah dan bank sentral mencapai US$ 387 miliar atau 27,72% dari PDB.

Selanjutnya: IHSG Cetak Rekor Tertinggi, Peluang Tembus 9.000 Kian Terbuka

Menarik Dibaca: Prediksi Indonesia U-22 vs Filipina U-22 pada SEA Games 2025, Berakhir Memuaskan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News