JAKARTA. Pemerintah mengebut penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Namun dikhawatirkan upaya ini bakal mempengaruhi perebutan dana investor oleh pemerintah dengan emiten penerbit surat utang (obligasi) korporasi. Mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), per 13 Maret 2015, sepanjang tahun ini pemerintah telah menerbitkan SUN Rp 158,72 triliun atau 35,13% dari total penerbitan bruto sepanjang 2015. Ditambah nilai penerbitan SUN lewat hasil lelang Selasa (17/3), nilai tersebut menjadi Rp 165,47 triliun atau setara 36,62% dari target penerbitan bruto. Lalu apa kiat emiten penerbit obligasi korporasi agar investor dapat menyerap nilai emisi surat utang mereka? Diprediksi perebutan dana oleh pasar SUN dengan obligasi korporasi bisa tetap seimbang jika emiten menawarkan kupon yang menarik bagi investor.
Analis obligasi Sucorinvest Central Gani Ariawan mengatakan penerbitan surat utang korporasi masih tetap menarik bagi investor. Pasalnya investor telah memiliki pos tersendiri bagi efek surat utang yang dipegang hingga jatuh tempo (
hold to maturity). “Hanya tentunya untuk bersaing dengan SUN, emiten sebaiknya member tingkat kupon di atas
credit spread ditambah yield SUN bertenor sama,” ujar Ariawan. Di samping itu pula, lanjut Ariawan, emiten dapat menawarkan surat utang dengan tenor rendah supaya investor lebih tertarik. “Tenor rendah berarti risiko gagal bayar juga makin berkurang,” tambah Ariawan. Analis Millenium Danatama Indonesia, Desmon Silitonga mengatakan tren pemberian tingkat kupon tinggi surat utang korporasi punya dampak negatif. Ongkos (cost of fund) emiten menerbitkan obligasi berarti akan lebih tinggi. Sehingga emiten terpaksa akan menaikkan harga barang dan atau jasanya. “Ini dampaknya ke kenaikan inflasi,” papar Desmon. Dampak ke dua adalah jika emiten terpaksa harus menerbitkan obligasi dengan tingkat kupon tinggi, ada kemungkinan emiten bakal lebih memilih penerbitan surat utang valas di luar negeri. Sehingga dampak lanjutannya ialah utang valas korporasi menjadi tinggi dan dapat melemahkan rupiah. Menurut Desmon dampak tersebut bisa diminimalisir jika korporasi tidak harus berhadapan langsung dengan penerbitan SUN. “Sehingga agar tidak perlu bersaing dengan SUN, pemerintah sebaiknya memperbesar alokasi penerbitan SUN valas,” ujar Desmon. Geliat emiten menerbitkan surat utang dengan kupon tinggi sudah mulai terlihat dari rencana penerbitan obligasi WOM Finance dengan nilai total RP 1 triliun. Surat utang ini dipecah menjadi dua seri. Seri A sebesar Rp 140 miliar bertenor 370 hari dengan kupon 9,25%. Seri B beremisi Rp 860 miliar bertenor 3 tahun dengan kupon 10,25%. Masing-masing tingkat kupon tersebut tersebut sudah melebihi batas kupon wajar credit spread. Surat utang ini diganjarperingkat AA oleh Fitch Ratings. Adapun masa penawaran berlangsung pada 27 Maret hingga 30 Maret 2015.
Ariawan mengatakan portofolio investor saat ini sudah banyak di surat utang sektor multifinance. Sehingga investor perlu mengukur seberapa menarik kupon tersebut dengan kebutuhan investor. Desmon juga mengatakan hal serupa. Banyaknya emisi surat utang korporasi multifinance perlu jadi pertimbangan bagi investor yang ingin melakukan diversifikasi portofolio. “Meski sebenarnya di satu sisi belum ada sejarah surat utang korporasi multifinance gagal bayar,” ujar Desmon. Ia memprediksi secara umum penerbitan obligasi korporasi pada tahun ini bisa lebih baik dibanding tahun lalu. Pasalnya tren inflasi dan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) akan lebih rendah dibanding tahun 2014 yang menguntungkan cost of fund emiten bisa lebih rendah. Desmon memprediksi realisasi penerbitan obligasi korporasi sepanjang 2015 ini berpotensi hingga Rp 55 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa