JAKARTA. Pasar obligasi pemerintah menguat (bullish) terpicu sinyal ekonomi domestik yang membaik. Penguatan pasar obligasi tercermin dari harga rata-rata obligasi pemerintah (IDMA Goverment Bond Index) yang melesat ke level 99,10 pada Jumat (5/9). Ini yang tertinggi semenjak November tahun lalu. Indikator penguatan juga diperlihatkan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA). Lembaga ini mencatat, rata-rata harga obligasi pemerintah (IBPA IGBI-Clean Price Index) naik menjadi 113,38 pada akhir pekan lalu, dari hari sebelumnya,111,83. Sementara, yield rata-rata obligasi (IBPA IGBI-Effective Yield Index) turun menjadi 8,15%, dari hari sebelumnya sekitar 8,31%. Sepanjang pekan lalu, harga obligasi seri benchmark FR0068 bertenor 20 tahun naik 258,44 basis poin. Begitu pula seri FR0070 bertenor 10 tahun naik 154,46 basis poin.
Analis IBPA, Roby Rushandi menilai, pergerakan pasar obligasi cenderung bullish selama sepekan terakhir, karena data inflasi Agustus dan neraca perdagangan pada Juli membaik. "Inflasi yang terkendali dan surplus neraca perdagangan memicu pelaku pasar bergairah di awal pekan," paparnya, kemarin. Optimisme pasar kian menguat menjelang akhir pekan. Pasalnya, World Economic Forum menaikkan peringkat daya saing Indonesia ke posisi 34, dari sebelumnya level 38. Apalagi, dari eksternal, European Central Bank (ECB) menerapkan pelonggaran moneter. Bank sentral Eropa itu memangkas suku bunga acuan untuk refinancing (pembiayaan kembali) dari 0,15% menjadi 0,05%. Menurut Roby, kebijakan tersebut memperkuat spekulasi bank sentral akan mengucurkan stimulus demi menopang perekonomian Eropa. "Ada potensi masuknya dana asing ke pasar obligasi Indonesia atau capital inflow," ujarnya. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) menunjukkan, porsi kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) naik menjadi Rp 437,35 triliun atau setara 37,27% dari total SBN yang diperdagangkan pada 2 Agustus 2014. Jumlah itu melonjak dibanding akhir tahun lalu, yaitu hanya Rp 323,83 triliun atau setara 32,54%. Analis Investa Saran Mandiri, Hans Kwee, menambahkan, pasar obligasi juga positif, karena tertopang aksi investor perbankan yang terus menambah posisi di obligasi. Penyebabnya, risiko kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan meningkat, sehingga mereka lebih senang menempatkan dana di obligasi ketimbang menyalurkan dalam kredit.
Kendati demikian, Hans menduga, masih ada potensi pasar obligasi terkoreksi dalam jangka pendek. Sejumlah faktor masih mengancam pasar domestik, seperti, konflik geopolitik di Ukraina. Situasi itu mendorong pelaku pasar mengamankan aset dalam dollar AS. Akibatnya, dollar AS menguat, sehingga rupiah melemah. "Risiko nilai tukar jadi naik," papar Hans. Pilih tenor pendek Selain itu, ada ancaman kenaikan suku bunga AS pada tahun depan. Ini bisa memicu dana asing keluar (outflow). Namun, dalam jangka panjang, prospek pasar domestik masih bagus, karena ada sentimen pemerintahan baru. Dengan proyeksi tersebut, Hans bilang, investor sebaiknya menahan diri. "Investor dapat menambah koleksi saat pasar turun, dan yield obligasi bertenor 10 tahun naik di atas 8%," sarannya. Saat ini, yield seri FR0070 bertenor 10 tahun berada di kisaran 7,92%. Adapun obligasi bertenor pendek, berkisar tiga hingga lima tahun, bisa menjadi pilihan. Strategi tersebut untuk mengurangi risiko fluktuasi harga. Pasalnya, saat pasar turun, harga obligasi tenor pendek tidak turun sedalam tenor panjang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie