JAKARTA. Isu mengenai obligasi rekapitalisasi kembali mencuat di dunia perbankan Indonesia belakangan ini. Hal ini bermula ketika Bank Indonesia (BI) berencana membersihkan obligasi rekapitalisasi di perbankan. Rencana BI itu bukan tanpa alasan. “Kami ingin membersihkan obligasi rekapitulasi agar perbankan bisa efisien dan bisa menyalurkan dana yang lebih murah,” ungkap Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Rabu (18/1).Dengan memaksa perbankan memegang dana sendiri, tentunya bank akan bekerja lebih keras dalam menyalurkan dana ke kredit. Keuntungan lainnya, bank juga tidak perlu jorjoran membayar bunga simpanan tinggi, karena likuiditas sedang melimpah. Itu sebabnya biaya dana bisa lebih rendah.Asal tahu saja, obligasi rekapitalisasi merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah Indonesia semasa krisis moneter 1997-1998. Saat itu pemerintah bermaksud memperkuat modal perbankan nasional yang terkena dampak krisis. Adapun nilai obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan sekitar Rp 430 triliun dalam berbagai seri dan tenor, dan tenor paling panjang jatuh tempo di tahun 2020.Hingga semester I 2011, jumlah obligasi rekapitulasi yang ada di perbankan masih mencapai Rp 170 triliun. Angka ini lebih kecil dari pertengahan semester I yaitu Rp 200 triliun.Berdasarkan kupon, obligasi rekapitalisasi terbagi menjadi dua macam. Pertama, obligasi rekapitalisasi dengan fixed rate atau suku bunga tetap. Biasanya, perbankan cenderung mempertahankan obligasi ini karena mendapatkan keuntungan yang besar. Penjelasannya begini, kupon yang diberikan pemerintah untuk obligasi rekapitalisasi terbilang sangat tinggi yaitu berkisar 13,175%-14,275% yang diberikan secara tetap (fixed). Bandingkan saja dengan tingkat suku bunga acuan BI saat ini yang berada di level 6% dan yield obligasi pemerintah yang ada di kisaran 2,2%-6,7%. Kedua, obligasi rekapitalisasi dengan variable rate. Berbeda dengan obligasi fixed rate, pada saat ditawarkan tahun 1997-1998 silam, kupon obligasi rekapitalisasi ini mengikuti rate Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan. Namun, seiring dengan semakin membaiknya perekonomian, SBI ini hilang alias tidak lagi diperdagangkan. Sebagai gantinya, kupon obligasi rekapitalisasi variable rate mengacu pada kupon Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan tenor waktu sama yang sekarang ini ada di kisaran 2%. BI masuk ke pasar sekunderNah, ajang pembersihan obligasi rekapitalisasi itu sebenarnya bisa dilakukan dengan beberapa cara. Hanya saja, saat ini, BI sedang mengkaji kemungkinan untuk membeli obligasi rekapitalisasi milik perbankan tersebut di pasar sekunder. Rupanya, BI ingin memperkuat stabilitas moneter dengan masuk ke Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang.Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, Rabu (18/1) menjelaskan, ada dua tujuan utama mengapa bank sentral masuk ke pasar SUN. Pertama, untuk menstabilisasi harga surat utang. Sebab kestabilan di pasar SUN akan berdampak positif terhadap berkurangnya capital reversal (arus modal asing keluar). Kondisi ini akan bermanfaat bagi kestabilan kurs rupiah.Kedua, membuat pasar SUN lebih dalam. Kedalaman pasar akan menjadikan transaksi pasar uang, khususnya di SUN menjadi lebih likuid.Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dampaknya terhadap pasar SUN mengingat nilai obligasi rekapitalisasi ini cukup besar? Menurut Muhammad Ikhsan, Dealer Fixed Income BRI, BI sudah mulai masuk ke pasar sekunder untuk membeli SUN, terutama seri-seri acuan, sejak tahun lalu. “Tujuannya adalah untuk building portofolio SUN yang akan digunakan dalam operasi moneter,” jelas Ikhsan. Dia menambahkan, operasi moneter dengan instrumen SUN dikenal dengan nama RR SUN, yang berfungsi untuk menyerap likuiditas di market. “Dampaknya sejauh ini cukup positif karena bisa menaikkan harga SUN itu sendiri,” urai Ikhsan. Namun, keinginan BI tak bisa dijalankan begitu saja. Untuk menjual obligasi rekapitalisasi di pasar sekunder, ada sejumlah kendala yang ditemui. Salah satunya, perbedaan kupon yang mencolok antara obligasi rekapitalisasi fixed rate dan variable rate. Sudah pasti, investor akan memburu obligasi rekapitalisasi fixed rate yang kisaran kuponnya mencapai 13%. Bandingkan dengan kupon SPN, di mana pada saat lelang terakhir berada di 2,1875%. Kondisi itu menyebabkan obligasi rekapitalisasi dengan variable rate menjadi sulit dijual. Untuk bisa menarik investor, mau tidak mau harga obligasi harus turun mengikuti harga pasar. Permasalahannya, jika hal itu dilakukan, maka akan terjadi penyusutan aset perbankan yang ujungnya bisa terjadi penyusutan pada modal perbankan. Sebagaimana diketahui, obligasi rekapitalisasi yang saat ini dipegang perbankan terbagi menjadi tiga jenis, yakni tidak dapat diperdagangkan sampai jatuh tempo (hold to maturity/HTM), berpotensi diperdagangkan (available for sale/AFS), dan dapat diperdagangkan (tradeable).Agar otoritas moneter itu bisa mengeksekusi rencananya, obligasi rekapitalisasi harus diubah menjadi tradeable. BI harus mengubah banyak obligasi karena saat ini porsi terbesar yang dipegang perbankan adalah obligasi rekapitalisasi jenis hold to maturity (non-tradeable). Pada saat diubah menjadi obligasi tradeable, maka dalam neraca bank aset ini harus digeser dari HTM menjadi AFS. Repotnya pada saat dicatat dalam aset AFS, maka obligasi itu harus dicatatkan dengan harga yang sudah mark to market. Celakanya perubahan ini pun tidak boleh dilakukan secara parsial. Artinya, harus mencakup semua aset-aset HTM lain di bank termasuk aset-aset di anak perusahaannya harus diubah menjadi aset AFS. Hal tersebut mengacu pada Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) dan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 mengenai reklasifikasi aset. "Karena tidak bisa parsial inilah yang nanti bisa berpengaruh ke sisi modal bank. Syukur-syukur kalau harganya nanti di atas pasar. Kalau tidak, nilai asetnya akan jadi lebih kecil," ujar Ikhsan kepada KONTAN, Jumat (27/1).Para bankir menyambut baikTerlepas dari permasalahan yang ada, pihak perbankan menyambut baik rencana BI. Bank Mandiri, misalnya. Bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia ini mengaku sulit melepas obligasi rekapitalisasi (variable rate) karena tidak ada pasarnya dan khawatir harganya di bawah nilai wajar. "Rencana ini langkah yang baik dalam memperluas instrumen di pasar. Bank juga bakal memiliki dana cukup untuk ekspansi 2012 dan 2013," kata Pahala Nugraha Mansury, Managing Director Finance & Strategy Mandiri Jumat (20/1).Asal tahu saja, Bank Mandiri menggenggam obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 72 triliun. Dari nilai tersebut, yang berstatus tradeable Rp 18 triliun, sedangkan available for sale senilai Rp 54 triliun. Yang terakhir ini harus diubah menjadi tradeable. Royke Tumilaar, Direktur Treasury Mandiri, menjelaskan, bank yang ingin mengubah status obligasi dari available for sale ke tradeable tidak memerlukan syarat khusus. Keputusan tersebut tergantung kesepakatan internal masing-masing bank.Selama ini, bank menyimpan obligasi berstatus available for sale karena khawatir jika berstatus tradeable maka harga akan turun mengikuti harga pasar saat itu.Sementara Achmad Baiquni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan, terciptanya pasar obligasi rekapitalisasi yang likuid mendatangkan keuntungan bagi bank, karena mendapatkan pendanaan kredit. BRI memiliki obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 8 triliun jenis yang wajib pegang hingga jatuh tempo atau hold to maturity antara 2015-2020.Menurut Baiquni pelepasan obligasi rekapitalisasi tentu bakal mempengaruhi laba bank. Tetapi, hal itu tetap tergantung pada kebijakan penempatan dana yang dipilih bank, di mana ada yang berisiko dan ada pula yang aman. Yang berisiko misalnya, menyalurkan dana ke kredit. Jika tidak ingin mengambil risiko, bank menempatkan ekses likuiditas ke instrumen keuangan lain. Penempatan ini sama-sama menguntungkan.Saat ini para bankir memilih untuk menunggu sambil menghitung-hitung dampak pengubahan kelas obligasi rekapitalisasi ini untuk kondisi keuangannya. Menurut Pahala, Mandiri akan mengkaji dasar nilai yang akan diubah menjadi tradeable. Sementara Direktur Utama Bank BNI Gatot Murdiantoro Suwondo mengungkapkan BNI tengah menunggu mekanisme, karena semuanya baru rencana bank sentral.Sebelumnya, Halim Alamsyah Deputi Gubernur BI mengatakan, BI tak menutup kemungkinan mengumpulkan obligasi rekapitalisasi dalam rangka stabilitas pasar SUN. "Kami mengincar obligasi rekapitalisasi di pasar sekunder. Potensinya Rp 153 triliun," ucap Halim. Saat ini, BI dan pemerintah sedang intens bertemu untuk membahas kesepakatan ini. “Kami sudah menggelar pertemuan sebanyak beberapa kali, perkembangannya sudah membahas detail tiap seri,” ungkap Perry Warjiyo, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter kepada Kontan, Rabu (18/1). Sayang, ia belum bisa memastikan kapan keinginan tersebut disepakati.Kedua pihak juga berupaya mencari solusi bagaimana mengubah surat utang berstatus non-tradeable (tidak bisa diperdagangkan) menjadi tradeable, tanpa melanggar aturan. Poin pembahasan lain adalah harga dan mekanisme penyelesaian transaksi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Untung buntung obligasi rekapitalisasi
JAKARTA. Isu mengenai obligasi rekapitalisasi kembali mencuat di dunia perbankan Indonesia belakangan ini. Hal ini bermula ketika Bank Indonesia (BI) berencana membersihkan obligasi rekapitalisasi di perbankan. Rencana BI itu bukan tanpa alasan. “Kami ingin membersihkan obligasi rekapitulasi agar perbankan bisa efisien dan bisa menyalurkan dana yang lebih murah,” ungkap Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, Rabu (18/1).Dengan memaksa perbankan memegang dana sendiri, tentunya bank akan bekerja lebih keras dalam menyalurkan dana ke kredit. Keuntungan lainnya, bank juga tidak perlu jorjoran membayar bunga simpanan tinggi, karena likuiditas sedang melimpah. Itu sebabnya biaya dana bisa lebih rendah.Asal tahu saja, obligasi rekapitalisasi merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah Indonesia semasa krisis moneter 1997-1998. Saat itu pemerintah bermaksud memperkuat modal perbankan nasional yang terkena dampak krisis. Adapun nilai obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan sekitar Rp 430 triliun dalam berbagai seri dan tenor, dan tenor paling panjang jatuh tempo di tahun 2020.Hingga semester I 2011, jumlah obligasi rekapitulasi yang ada di perbankan masih mencapai Rp 170 triliun. Angka ini lebih kecil dari pertengahan semester I yaitu Rp 200 triliun.Berdasarkan kupon, obligasi rekapitalisasi terbagi menjadi dua macam. Pertama, obligasi rekapitalisasi dengan fixed rate atau suku bunga tetap. Biasanya, perbankan cenderung mempertahankan obligasi ini karena mendapatkan keuntungan yang besar. Penjelasannya begini, kupon yang diberikan pemerintah untuk obligasi rekapitalisasi terbilang sangat tinggi yaitu berkisar 13,175%-14,275% yang diberikan secara tetap (fixed). Bandingkan saja dengan tingkat suku bunga acuan BI saat ini yang berada di level 6% dan yield obligasi pemerintah yang ada di kisaran 2,2%-6,7%. Kedua, obligasi rekapitalisasi dengan variable rate. Berbeda dengan obligasi fixed rate, pada saat ditawarkan tahun 1997-1998 silam, kupon obligasi rekapitalisasi ini mengikuti rate Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan. Namun, seiring dengan semakin membaiknya perekonomian, SBI ini hilang alias tidak lagi diperdagangkan. Sebagai gantinya, kupon obligasi rekapitalisasi variable rate mengacu pada kupon Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan tenor waktu sama yang sekarang ini ada di kisaran 2%. BI masuk ke pasar sekunderNah, ajang pembersihan obligasi rekapitalisasi itu sebenarnya bisa dilakukan dengan beberapa cara. Hanya saja, saat ini, BI sedang mengkaji kemungkinan untuk membeli obligasi rekapitalisasi milik perbankan tersebut di pasar sekunder. Rupanya, BI ingin memperkuat stabilitas moneter dengan masuk ke Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang.Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, Rabu (18/1) menjelaskan, ada dua tujuan utama mengapa bank sentral masuk ke pasar SUN. Pertama, untuk menstabilisasi harga surat utang. Sebab kestabilan di pasar SUN akan berdampak positif terhadap berkurangnya capital reversal (arus modal asing keluar). Kondisi ini akan bermanfaat bagi kestabilan kurs rupiah.Kedua, membuat pasar SUN lebih dalam. Kedalaman pasar akan menjadikan transaksi pasar uang, khususnya di SUN menjadi lebih likuid.Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dampaknya terhadap pasar SUN mengingat nilai obligasi rekapitalisasi ini cukup besar? Menurut Muhammad Ikhsan, Dealer Fixed Income BRI, BI sudah mulai masuk ke pasar sekunder untuk membeli SUN, terutama seri-seri acuan, sejak tahun lalu. “Tujuannya adalah untuk building portofolio SUN yang akan digunakan dalam operasi moneter,” jelas Ikhsan. Dia menambahkan, operasi moneter dengan instrumen SUN dikenal dengan nama RR SUN, yang berfungsi untuk menyerap likuiditas di market. “Dampaknya sejauh ini cukup positif karena bisa menaikkan harga SUN itu sendiri,” urai Ikhsan. Namun, keinginan BI tak bisa dijalankan begitu saja. Untuk menjual obligasi rekapitalisasi di pasar sekunder, ada sejumlah kendala yang ditemui. Salah satunya, perbedaan kupon yang mencolok antara obligasi rekapitalisasi fixed rate dan variable rate. Sudah pasti, investor akan memburu obligasi rekapitalisasi fixed rate yang kisaran kuponnya mencapai 13%. Bandingkan dengan kupon SPN, di mana pada saat lelang terakhir berada di 2,1875%. Kondisi itu menyebabkan obligasi rekapitalisasi dengan variable rate menjadi sulit dijual. Untuk bisa menarik investor, mau tidak mau harga obligasi harus turun mengikuti harga pasar. Permasalahannya, jika hal itu dilakukan, maka akan terjadi penyusutan aset perbankan yang ujungnya bisa terjadi penyusutan pada modal perbankan. Sebagaimana diketahui, obligasi rekapitalisasi yang saat ini dipegang perbankan terbagi menjadi tiga jenis, yakni tidak dapat diperdagangkan sampai jatuh tempo (hold to maturity/HTM), berpotensi diperdagangkan (available for sale/AFS), dan dapat diperdagangkan (tradeable).Agar otoritas moneter itu bisa mengeksekusi rencananya, obligasi rekapitalisasi harus diubah menjadi tradeable. BI harus mengubah banyak obligasi karena saat ini porsi terbesar yang dipegang perbankan adalah obligasi rekapitalisasi jenis hold to maturity (non-tradeable). Pada saat diubah menjadi obligasi tradeable, maka dalam neraca bank aset ini harus digeser dari HTM menjadi AFS. Repotnya pada saat dicatat dalam aset AFS, maka obligasi itu harus dicatatkan dengan harga yang sudah mark to market. Celakanya perubahan ini pun tidak boleh dilakukan secara parsial. Artinya, harus mencakup semua aset-aset HTM lain di bank termasuk aset-aset di anak perusahaannya harus diubah menjadi aset AFS. Hal tersebut mengacu pada Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) dan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 mengenai reklasifikasi aset. "Karena tidak bisa parsial inilah yang nanti bisa berpengaruh ke sisi modal bank. Syukur-syukur kalau harganya nanti di atas pasar. Kalau tidak, nilai asetnya akan jadi lebih kecil," ujar Ikhsan kepada KONTAN, Jumat (27/1).Para bankir menyambut baikTerlepas dari permasalahan yang ada, pihak perbankan menyambut baik rencana BI. Bank Mandiri, misalnya. Bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia ini mengaku sulit melepas obligasi rekapitalisasi (variable rate) karena tidak ada pasarnya dan khawatir harganya di bawah nilai wajar. "Rencana ini langkah yang baik dalam memperluas instrumen di pasar. Bank juga bakal memiliki dana cukup untuk ekspansi 2012 dan 2013," kata Pahala Nugraha Mansury, Managing Director Finance & Strategy Mandiri Jumat (20/1).Asal tahu saja, Bank Mandiri menggenggam obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 72 triliun. Dari nilai tersebut, yang berstatus tradeable Rp 18 triliun, sedangkan available for sale senilai Rp 54 triliun. Yang terakhir ini harus diubah menjadi tradeable. Royke Tumilaar, Direktur Treasury Mandiri, menjelaskan, bank yang ingin mengubah status obligasi dari available for sale ke tradeable tidak memerlukan syarat khusus. Keputusan tersebut tergantung kesepakatan internal masing-masing bank.Selama ini, bank menyimpan obligasi berstatus available for sale karena khawatir jika berstatus tradeable maka harga akan turun mengikuti harga pasar saat itu.Sementara Achmad Baiquni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan, terciptanya pasar obligasi rekapitalisasi yang likuid mendatangkan keuntungan bagi bank, karena mendapatkan pendanaan kredit. BRI memiliki obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 8 triliun jenis yang wajib pegang hingga jatuh tempo atau hold to maturity antara 2015-2020.Menurut Baiquni pelepasan obligasi rekapitalisasi tentu bakal mempengaruhi laba bank. Tetapi, hal itu tetap tergantung pada kebijakan penempatan dana yang dipilih bank, di mana ada yang berisiko dan ada pula yang aman. Yang berisiko misalnya, menyalurkan dana ke kredit. Jika tidak ingin mengambil risiko, bank menempatkan ekses likuiditas ke instrumen keuangan lain. Penempatan ini sama-sama menguntungkan.Saat ini para bankir memilih untuk menunggu sambil menghitung-hitung dampak pengubahan kelas obligasi rekapitalisasi ini untuk kondisi keuangannya. Menurut Pahala, Mandiri akan mengkaji dasar nilai yang akan diubah menjadi tradeable. Sementara Direktur Utama Bank BNI Gatot Murdiantoro Suwondo mengungkapkan BNI tengah menunggu mekanisme, karena semuanya baru rencana bank sentral.Sebelumnya, Halim Alamsyah Deputi Gubernur BI mengatakan, BI tak menutup kemungkinan mengumpulkan obligasi rekapitalisasi dalam rangka stabilitas pasar SUN. "Kami mengincar obligasi rekapitalisasi di pasar sekunder. Potensinya Rp 153 triliun," ucap Halim. Saat ini, BI dan pemerintah sedang intens bertemu untuk membahas kesepakatan ini. “Kami sudah menggelar pertemuan sebanyak beberapa kali, perkembangannya sudah membahas detail tiap seri,” ungkap Perry Warjiyo, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter kepada Kontan, Rabu (18/1). Sayang, ia belum bisa memastikan kapan keinginan tersebut disepakati.Kedua pihak juga berupaya mencari solusi bagaimana mengubah surat utang berstatus non-tradeable (tidak bisa diperdagangkan) menjadi tradeable, tanpa melanggar aturan. Poin pembahasan lain adalah harga dan mekanisme penyelesaian transaksi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News