Obligasi swasta kurang laku



JAKARTA. Sejak awal tahun 2016, penerbitan surat utang korporasi kian ramai. Hingga pertengahan Juni 2016, total nilai obligasi korporasi mencapai Rp 40,64 triliun. Angka ini naik 10,29% dibandingkan obligasi korporasi yang terbit pada enam bulan pertama 2015, yakni Rp 36,849 triliun.

Namun membludaknya surat utang ini malah berdampak negatif. Beberapa obligasi kalah bersaing dan menyebabkan target penerbitan tak tercapai. Mari kita pungut contoh Obligasi Berkelanjutan II Bumi Serpong Damai Tahap I 2016 yang meluncur sebesar Rp 650 miliar. Besaran ini jauh di bawah target awal, Rp 1,5 triliun.

Kondisi serupa juga dialami Obligasi Berkelanjutan II milik PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Dalam surat utang Tahap I tersebut pun hanya ditawarkan sebanyak Rp 600 miliar.


Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra menuturkan, sengitnya persaingan menjadi alasan utama sebagian obligasi korporasi kurang laris di pasar. Maklum, periode penerbitan beberapa obligasi korporasi jatuh pada Juni 2016 atau triwulan kedua cenderung bersamaan.

Walhasil, para investor mendapati surat utang emiten dengan beragam rating, sektor perusahaan, dan besaran kupon. "Mungkin investor membeli obligasi lain yang lebih menarik dari sisi peringkat atau struktur yang ditawarkan," jelasnya.

Apalagi pasar dalam negeri dan global cukup fluktuatif dalam beberapa minggu belakangan. Katalis negatif berasal dari antisipasi hasil pertemuan FOMC dan referendum Brexit, yakni rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang bakal diadakan 23 Juni ini.

Sehingga pelaku pasar cukup berhati-hati mengendapkan dana mereka pada obligasi korporasi. Investor bukan menilik besaran kupon, melainkan prospek perusahaan penerbit surat utang serta rating yang dihimpun.

Alhasil, investor lebih tertarik pada obligasi korporasi yang diluncurkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Maklum, jenis ​surat utang perusahaan pemerintah lebih minim risiko. ​​

Prospek obligasi BUMN juga diperkirakan bakal menanjak, seiring program pembangunan infrastruktur pemerintah. ​"Makanya, obligasi BRI kemarin, meskipun kupon kecil, tetap targetnya bisa terpenuhi dengan rating idAAA.

Obligasi Angkasa Pura dan Pelindo yang BUMN juga laku," jelasnya. Belum lagi investor mendapatkan suguhan surat utang negara (SUN) yang jumlahnya tak kalah banyak. Apalagi kupon yang dibagikan tergolong tinggi. Termasuk jika dibandingkan dengan obligasi serupa di negara lain.

Menurut Beben Feri Wibowo, analis PT Infovesta Utama, saat ini investor lebih menggemari obligasi jangka pendek dan kupon yang menarik. Faktor jenis emiten juga menjadi syarat utama. ​​

Oleh karena itu Beben memproyeksikan, di waktu mendatang investor akan tetap berburu obligasi korporasi yang lebih berkilau. ​"Permintaan masih tetap ada," tegasnya.

Terus berlanjut

Made memprediksi, penerbitan obligasi korporasi pada kuartal III 2016 juga tak kalah semarak. Banyak surat utang emiten jatuh tempo. Selain menerbitkan obligasi untuk kebutuhan dana ekspansi, perusahaan juga menawarkan surat utang untuk kebutuhan refinancing.

Sepanjang kuartal III 2016, tercatat sekitar Rp 9,75 triliun obligasi korporasi bakal kedaluwarsa. Artinya perebutan dana investor bakal terus berlanjut. "Masih akan ada persaingan. Nama-nama baru yang berbau BUMN akan diincar investor," paparnya. ​

Beben memaparkan, biasanya ada dua faktor yang memicu emiten menerbitkan obligasi. Pertama, faktor suku bunga. Tren suku bunga rendah akan memicu perusahaan menawarkan obligasi. Dengan suku bunga rendah, mereka dapat menghimpun dana dengan biaya pendanaan alias cost of fund yang murah.

Kedua, adanya kebutuhan dana, baik untuk refinancing maupun ekspansi. Semisal obligasi BSDE yang bertujuan untuk akuisisi lahan, pengembangan proyek, serta kebutuhan modal kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie