Obligasi tetap seksi sebagai alat investasi



Punya dana sisa untuk investasi tapi bingung mau naruh di mana? Taruh saja di obligasi. Mereka yang sudah punya pengalaman berinvestasi pasti tidak asing lagi dengan obligasi. Berdasarkan kategori penerbitnya, obligasi bisa bisa disebut sebagai surat utang yang diterbitkan pemerintah (SUN) atau perusahaan (obligasi korporasi).

Nah, kenapa obligasi bisa menjadi alternatif tempat memutar duit? Kita singgung sedikit kinerjanya sepanjang tahun 2014 dahulu. Mari kita mulai dari obligasi pemerintah.

Sekarang ini, peringkat utang Indonesia sepertinya masih lumayan bagus. Tiga lembaga rating global S&P, Moody's, dan Fitch, masing-masing memberikan predikat BB+, Baa3, dan BBB- alias sebelas-duabelas dengan India, Thailand, Filipina, Turki, Brasil, Rusia, Rusia, serta Afrika Selatan.


Menurut data Kementerian Keuangan, jika dibandingkan negara-negara itu tadi, tingkat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) Indonesia masih menarik. Dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) atawa BI Rate sebesar 7,75% dan tingkat inflasi di kisaran 6,23%, imbal hasil (yield) SUN tenor di bawah lima tahun sebesar 18,07%; tenor 5 tahun–7 tahun berkisar 5,62%; dan tenor di atas 7 tahun mencapai 7,63%.

Salah satu bukti daya tarik surat utang pemerintah adalah besarnya dana investor asing yang ngendon di sana. Angkanya sekitar Rp 477,87 triliun alias 39,19% dari total outstanding dana di SUN.

Selain kepemilikan asing, realisasi penerbitan SUN dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pun bagus. Menurut target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014, target net issuance Surat Berharga Negara (SBN), alias SUN dan SBSN, sebesar Rp 265 triliun. Per akhir November 2014 lalu, realisasinya Rp 277 triliun atau lebih dari target.

Penyebabnya, pemerintah menerapkan kebijakan front loading. Itu artinya, pemerintah menerbitkan SBN lebih awal. Kebijakan ini mendapat respon positif dari pasar meski rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 24,03% di 2013 menjadi 26,11% tahun ini. Namun, jumlah penawaran lelang yang masuk per 4 November 2014 lalu mencapai Rp 581,94 triliun. Sedang nilai dana yang diterima Rp 269,98 triliun.

Pasar sekunder obligasi pelat merah pun menarik jika melihat rata-rata volume dan frekuensi transaksi karena terus naik. I Made Adi Saputra, Analis Pendapatan Tetap Divisi Riset PT BNI Securities, menuturkan, penyebabnya adalah jumlah penerbitan SUN yang juga bertambah. Kenaikan volume dan frekuensi transaksi tentu mengerek likuiditas.

"Itu mendorong terciptanya harga SUN yang lebih kompetitif serta memudahkan investor dalam melakukan jual beli," kata Made. Dari komposisi porsinya, volume SBSN bertenor panjang lebih banyak diperdagangkan di pasar sekunder ketimbang yang bertenor pendek.

Bagaimana dengan obligasi korporasi alias perusahaan? Made bilang, sampai Oktober 2014, total penerbitan obligasi korporasi sekitar Rp 36,59 triliun dari 37 emisi oleh 30 perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) alias emiten.

Komposisinya berdasar sektor industri penerbit adalah lembaga keuangan 37,82% dari total emisi; bank (31,30%); properti (6,42%); perusahaan konsumer (6,15%); industri ritel (5,46%); transportasi (5,46%); industri dasar (4,64%) serta perusahaan infrastruktur (2,73%).

Jumlah itu lebih rendah dibandingkan nilai penerbitan di periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp 48,78 triliun, dari 49 emisi oleh 41 emiten. "Jumlah penerbitan turun karena beban bunga yang naik, setelah BI rate naik menjadi 7,5%," ujar Made.

Analis Millenium Danatama Indonesia, Desmon Silitonga, menambahkan, kenaikan bunga itu yang juga menjadi alasan banyak perusahaan menunda aksi korporasi. Minimnya penerbitan obligasi korporasi alhasil membawa dampak ke rata-rata volume perdagangannya di pasar sekunder.

Jika dibandingkan tahun 2013, volume perdagangan tahun ini melandai. Hanya, jumlah kepemilikan asing di obligasi korporasi terus naik. Akhir November 2014, kepemilikan investor asing tercatat sebesar Rp 20,41 triliun atau setara dengan 9,07% dari total outstanding obligasi korporasi.

Obligasi di 2015

Satu bulan sebelum 2014 berakhir, lanjut Made, kemungkinan besar pasar obligasi masih berfluktuasi, terutama SUN. Pembatalan penerbitan SUN oleh pemerintah setelah tanggal 4 November 2014, berpotensi mengerek harga SUN hingga akhir 2014.

Faktor domestik yang mempengaruhi adalah angka inflasi Desember 2014 serta BI Rate. Sementara faktor eksternal yang bisa mempengaruhi pasar obligasi datang dari AS, yaitu pengumuman Federal Open Market Committee (FOMC) tanggal 17 Desember nanti, serta keputusan Bank Sentral Eropa terkait kebijakan stimulus moneternya.

Desmon menuturkan, kondisi-kondisi global itu akan mempengaruhi pasar obligasi Indonesia hingga tahun depan. Faktor eksternal itu seperti pergerakan kurs dollar AS, kebijakan normalisasi The Fed, serta stimulus dari Bank Sentral Eropa, Jepang, dan China.

Potensi kenaikan tingkat bunga di AS juga akan berdampak ke pasar obligasi lokal. Sedang faktor domestik yang akan mempengaruhi pasar tahun depan seperti kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan dampak inflasi.

Namun, jangan berkecil hati dulu. Obligasi di tahun 2015, masih menarik, meski pemerintah berencana mengurangi porsi SUN untuk investor perorangan (ritel) lewat produknya, Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Rencananya, pemerintah menargetkan nilai net issuance atau penerbitan neto SUN sekitar Rp 277 triliun dan gross Rp 431 triliun. Jumlah ini sedikit di atas APBN-P 2014 yang sempat disinggung di depan tadi senilai Rp 265 triliun (net) dan Rp 428,18 triliun (gross).

Dengan menerapkan kebijakan front loading, pemerintah akan menerbitkan sekitar 57% di semester I dan sekitar 54% di semester II 2015. Nah, kata Made, kebijakan itu akan turut mendorong kenaikan imbal hasil SUN di semester I 2015. Sekadar informasi, SUN yang akan jatuh tempo pada 2015 kurang lebih senilai Rp 153,90 triliun plus US$ 1 miliar.

Sedang fokus pemerintah tahun depan adalah mengutamakan penerbitan SUN berdenominasi mata uang asing di awal tahun, mengantisipasi kebijakan normalisasi bank sentral AS. "Dampak kenaikan imbal hasil US Treasury akan mempengaruhi tingkat imbal hasil SUN. Jika melihat data historis, setiap kenaikan 1% dari US Treasury akan mendorong imbal hasil SUN naik 1,81%," ucap Made.

Sementara obligasi korporasi, menurut prediksi Made dan Desmon, tetap akan memikat para investor. Obligasi korporasi yang akan jatuh tempo di tahun 2015, kurang lebih sebesar Rp 33,74 triliun. Nilai ini memang lebih sedikit ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar Rp 38,78 triliun.

Di semester I 2015, penerbitan obligasi korporasi akan lebih tinggi dibandingkan semester II 2015, mengingat obligasi korporasi yang jatuh tempo pada semester I 2015 jumlahnya mencapai Rp 18,83 triliun. Perusahaan multifinance masih mendominasi penerbitan obligasi korporasi di 2015, yang kemudian diikuti bank.

(Simak lanjutannya di Edisi Khusus Prospek Investasi 2015 edisi Desember 2014)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Andri Indradie