OJK: Aturan baru modal inti bank untuk perkuat layanan kepada nasabah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat digitalisasi perbankan, melalui regulasi baru yang diterbitkan. Yang terbaru adalah Peraturan OJK (POJK) No. 12/POJK.03/2021 Tentang Bank Umum, dan POJK No.13/POJK.03/2021 Tentang Penyelengaraan Produk Bank Umum. POJK mengenai bank umum ini merupakan akomodasi dari OJK terhadap perkembangan bank digital.

Dalam POJK ini, OJK mensyaratkan untuk pendirian bank baru, termasuk bank digital, modal inti yang harus dipenuhi minimal Rp 10 triliun. OJK menilai, sesuai dengan penelitian OJK, rentang modal bank agar bisa menjaga risiko, sustainable profitnya, dan memberikan kontribusi bagi perekonomian yaitu yang berada di rentang modal Rp 10 triliun.

“Aturan modal inti Rp 3 triliun itu sudah lama sekali, sudah sekitar 20 tahun yang lalu. Sehingga memang tidak sesuai dengan perkembangan ekositem perbankan dan tuntutan perbankan untuk melayani masyarakat dengan lebih baik di saat ini. Untuk bank yang eksisting, kita sudah memiliki POJK yang sebelumnya bahwa modal minimal yang dipenuhi adalah sebesar Rp 3 triliun secara bertahap,” ujar Anggota Dewan Komisioner & Kepada Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam paparan virtual, Jumat (27/8).


Baca Juga: Hingga Juli 2021, OJK Mencatat Kredit Perbankan Mengucur Sebanyak Rp 1.439 Triliun

Menurutnya, dengan modal Rp 10 triliun, maka masih ada bank-bank yang menarik untuk diakuisisi oleh investor baru. “Kalau sudah seperti itu, para investor tentunya akan memilih mau mendirikan bank sendiri atau bank digital sendiri dengan ekosistem yang sudah dibangun; atau investor mengambil bank yang sudah ada dengan ekosistem yang sudah matang,” kata Heru.

Hal ini menjadi suatu pilihan bisnis bagi bank. Dengan modal inti Rp 10 triliun ini, OJK juga mendorong bank melakukan konsolidasi sehingga akan lebih efisien, dan lebih baik bagi masyarakat untuk dilayani oleh bank-bank yang semakin besar dan semakin baik.

Melihat undang-undang perbankan saat ini, hanya dikenal dua jenis bank yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Heru bilang, OJK tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu bentuk jenis bank baru.

“Sesuai dengan kelembagaan, bank digital itu tetaplah bank. OJK juga tentunya tidak ingin mendikotomikan bank yang konvensional, kemudian bertransformasi menjadi bank yang melayani digital, lalu bank yang hybrid, atau juga bank yang didirikan baru menjadi bank digital,” ujarnya.

Heru juga memaparkan bahwa saat ini, tidak ada satu pun bank benar-benar sudah fully digital. Akan tetapi, jika suatu bank menyatakan bertransformasi atau menjadi hybrid, ataupun bank yang akan didirikan dengan fully digital tentunya harus memenuhi persyaratan yang ada di POJK No. 12 Tahun 2021.

“Tentunya hal ini nanti akan terus dievaluasi pengawas, apakah mereka sudah betul-betul bisa melayani secara digital, atau apakah manajemen risikonya sudah memadai, dan apakah juga aspek perlindungan nasabahnya sudah terjamin. Jika bank yang mengatakan bahwa sudah melayani digital dan sudah menjadi bank digital akan dilihat oleh pengawas,” pungkasnya.

Selanjutnya: Dilirik sejumlah investor, Bank Amar sebut punya banyak opsi untuk menambah modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi