KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending harus bertanggung jawab dan menyampaikan dengan jelas informasi dalam iklan yang disebarkan. Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen Rizal Ramadhani menyampaikan masih ditemukan pelanggaran yang dilakukan fintech P2P lending terkait iklan. Dia mengatakan kadang-kadang iklan yang disebarkan itu menjebak. "Jadi, masyarakat belum paham fitur produknya sehingga jadinya
misselling," ucapnya saat ditemui Kontan di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (12/11).
Baca Juga: Per Oktober, Maucash Catat Kenaikan Penyaluran Pendanaan 12% Tembus Rp 5,7 Triliun Oleh karena itu, Rizal menekankan agar penyelenggara fintech lending harus bertanggung jawab terhadap iklan yang disebarkan mereka. Dia bilang fintech lending harus memastikan informasi fitur produk, risiko, hingga manfaat dalam iklan tersampaikan dengan jelas. OJK tak mau apabila iklan itu ternyata malah menjebak konsumen. "Sebab, iklan itu bagian dari produk pemasaran. Jadi, harus jelas iklan itu dan harus bertanggung jawab," kata Rizal. Sebelumnya, OJK telah melaksanakan pemantauan terhadap 2.210 iklan produk atau layanan jasa keuangan dari seluruh sektor jasa keuangan pada kuartal I-2024. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menyampaikan dari total iklan tersebut, ditemukan 2,03% atau 45 iklan belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Baca Juga: Bunga Disunat, Bisnis Fintech Berpeluang Melesat, Tapi Pinjol Ilegal Harus Dibabat "Berdasarkan statistik pemantauan iklan tersebut, sektor perbankan merupakan sektor yang paling banyak dan sering menerbitkan iklan. Adapun dari sektor fintech lending hanya memiliki porsi sebesar 6% dari total iklan yang dilakukan pemantauan selama kuartal I-2024," ucapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Selasa (9/7). Secara rinci, Friderica menyebut ada sejumlah pelanggaran umum yang banyak ditemukan OJK. Salah satunya, yakni tidak menyantumkan pernyataan berizin dan diawasi oleh OJK, serta periode promo tidak dicantumkan dalam badan iklan. "Selain itu, ada juga pelanggaran perihak tautan yang memuat penjelasan program tidak spesifik bahkan informasinya tidak jelas, penggunaan kata gratis yang tetap memberikan syarat kepada konsumen, serta pencantuman frasa selama persediaan masih ada dan kuota terbatas yang menunjukkan ketidakjelasan ketersediaan program kepada konsumen," kata Friderica. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi