JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penerbitan obligasi daerah. Koordinasi dilakukan lantaran selama ini laporan keuangan Pemerintah Daerah diaudit oleh BPK. Sedangkan Undang-Undang pasar modal mensyaratkan produk pasar modal wajib diaudit ooleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar di OJK. "Saat ini masih dalam pembahasan, nanti akan kami infokan apabila sudah final," ujar Nurhaida, Kamis (19/13).
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I Sarjito mengatakan pihaknya juga melakukan koordinasi dengan instansi lain seperti Kementerian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Bappenas serta DPD. Selain aturan, penerbitan obligasi daerah juga masih menemui kendala. Seperti, kurangnya pemahaman kepala daerah dan DPRD terhadap manfaat dan prosedur penerbitan obligasi daerah. Selain itu, diperlukan persiapan pemerintah daerah untuk memperoleh persetujuan dari instansi terkait seperti DPRD, Kemendagri dan Kementerian Keuangan. Juga, perlunya persiapan sumber daya manusia (SDM) yang dapat melakukan pengelolaan utang di tingkat daerah. "Koordinasi dengan instansi terkait dilakukan untuk mendorong penyelesaikan atas kendala-kendala tersebut," ujar dia. Menurut dia, minat penerbitan obligasi daerah masih minim. Dari 34 provinsi di Indonesia, baru tiga provinsi saja yang berencana menerbitkan pemerintah daerah. Di antaranya, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Padahal, prospek obligasi daerah sangat menarik. Surat utang ini dapat digunakan sebagai sumber pendanaan yang cukup potensial lantaran jangka waktu dan nilai penerbitan yang fleksibel. "Kami juga telah melakukan sosialisasi kepada daerah di Jawa Timur pada 6 Maret 2015. Kegiatan ini akan terus dilakukan kepada pemerintah daerah lainnya," ujar dia. Sebelumnya, pemerintah provinsi Jawa Barat berencana menerbitkan obligasi daerah senilai Rp 3,5 triliun hingga Rp 4 triliun yang akan digunakan untuk pembangunan Bandara Internasional Kertajati. Saat itu, rencana yang mengemuka sejak pertengahan tahun lalu telah mendapatkan peringkat AA- dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Direktur Pemeringkatan Pefindo Vonny Widjaja mengatakan hingga kini pihaknya baru melakukan pemeringkatan sejumlah pemerintah daerah. Sedangkan untuk pemeringkatan terhadap rencana obligasi belum dilakukan. "Namun, untuk periode pemeringkatan yang dilakukan terhadap DKI Jakarta dan Jawa Barat sudah berakhir," tutur dia. Artinya, peringkat yang sebelumnya telah disematkan sudah tidak berlaku lagi. Fixed Income Analyst BNI Securities I Made Adi Saputra mengatakan penerbitan obligasi daerah bisa mengekor Surat Utang Negara (SUN) yang tidak memerlukan akuntan publik. "Tinggal diperjelas nanti di Undang-Undang Pasar Modal ataupun peraturan daerah," ujar Made. Berbeda, analis fixed income Samuel Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan penerbitan obligasi daerah harus dilakukan audit oleh KAP sesuai mandat Undang-Undang PAsaar Modal. "Karena setelah Obligasi Daerah tersebut keluar, maka investor membutuhkan data dan laporan keuangan serta kinerja yang telah diaudit oleh lembaga independen sebelum mereka memutuskan untuk membeli obligasi tersebut," ujar Nico. Selain itu, diperlukan self regulatory organization (SRO) khusus untuk mengatur penerbitan obligasi daerah. "Seperti di Amerika Serikat, kegiatan bank dan pelaku lainnya yang berkaitan dengan obligasi daerah diatur oleh Municipal Securities Rulemaking Board, yaitu suatu Self Regulatory Organization yang di bentuk oleh kongres Amerika Serikat dan diawasi oleh Securities Exchange Commission," ujar Nico. Pelajari risiko Made mengatakan investor perlu mempelajari risiko gagal bayar sebelum masuk ke obligasi daerah. Risiko gagal bayar terjadi apabila pengelolaan dana hasil penerbitan obligasi tidak tepat sasaran dan tidak efektif dalam penggunaannya. "Sebagaimana yang terjadi di luar negeri akibat krisis," kata Made.
Untuk itu, investor perlu mencermati pemerintah daerah yang memiliki good corporate governance (GCG) yang baik. Selain itu, investor juga bisa menghindari obligasi dari pemerintah daerah yang memiliki penggunaan dana tidak transparan. "Tentunya harus dipertimbangkan siapa yang nantinya harus bertanggung jawab apabila terjadi gagal bayar. Apakah kepala daerah ataupun pejabat yang ditunjuk,"ujar Made. Nico memperkirakan obligasi daerah akan diterbitkan dengan jangka waktu tiga hingga lima tahun. "Sedangkan untuk kupon tergantung Lembaga Pemeringkat memberikan rating seperti apa kepada Obligasi Daerah ini. Karena obligasi daerah ini memiliki resiko yang lebih tinggi di bandingkan SUN, maka kupon akan di atas SUN namun di bawah obligasi korporasi," tutur Nico. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto